Persepi Jawab Tudingan Poltracking soal Putusan Cacat Hukum
Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) menjelaskan polemik perbedaan data antara survei yang dilakukan Lembaga Surve Indonesia (LSI) dengan Poltracking terhadap elektabilitas Cagub-cawagub Pilkada Jakarta 2024. Persepi menyebut data hasil survei milik Poltracking sulit diverifikasi.
"Dewan etik merasa bahwa keputusannya itu sebetulnya ini bilangnya data tidak bisa diverifikasi. Dewan etik tidak pernah bilang ini data salah. Kita bilang kita tidak bisa memverifikasi datanya, validitasnya susah untuk dipastikan," kata Ketua Persepi, Philip Vermonte kepada wartawan di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (9/11/2024) malam.
Philip menjelaskan data yang diungkap ke publik oleh Poltracking tidak sesuai dengan data yang diserahkan ke Dewan Etik Persepi. Dia mengungkap Poltracking menyampaikan ke publik memiliki responden sejumlah 2 ribu, sementara data terverifikasi yang diserahkan ke Persepi sebanyak 1.652 responden.
"Itu yang kita lihat adalah dari data responden yang 2.000 disampaikan ke publik, sebetulnya dari data yang teman-teman Poltracking kirim sendiri ke kita, itu yang valid adalah 1.652 tadi, jadi ada yang tidak ada, yang ada 1652, yang valid, itu satu hal," jelas Philip.
Dia juga mengatakan dari data yang sudah terverifikasi dan diserahkan ke Persepsi, banyak jawaban kosong dari responden. Dia menjelaskan, dewan etik juga menemukan adanya duplikasi dalam kuesioner, baik dari kesamaan nomor maupun nama responden.
"Itu di tiap komponennya itu ada banyak, yang satu, ternyata tidak ada jawabannya, itu cukup banyak. Yang kedua, ada duplikasi. Kuesioner tadi saya sampaikan, kalau respondennya mau ditarget 2 ribu, kuesionernya 2 ribu dikasih nomor, nomor 1, nomor 2, nomor 3, sehingga waktu di-entry kelihatan," terang Philip.
"Nah, ini ada banyak duplikasi kuesioner nomor. Misalnya, contoh ya, tadi sudah dibilang, contoh misalnya kuesioner nomor sekian, itu ada beberapa duplikat, atau ada yang mungkin triple. Namanya, nama orangnya kan ada nama respondennya lain-lain, padahal nomor kuesionernya sama, itu ada banyak," sambungnya.
Dia mengatakan pada akhirnya dewan etik Persepi meminta untuk dikirimkan data awal atau data mentah dari hasil survei yang dilakukan Poltracking. Hasilnya, kata dia, dewan etik merasa data awal atau data mentah dinilai terlihat lebih rapih.
"Ternyata waktu masuk justru menimbulkan banyak pertanyaan. Sekarang (data mentah) udah clean, tidak ada lagi yang data (kuesioner) kosong atau seterusnya. Yang duplikasi-duplikasi sudah lebih rapi, tapi tetap ada," ujar Philip.
Persepi mengungkap alasan memberikan sanksi kepada Poltracking yang pada saat itu masih menjadi anggota Persepi. Sanksi ini disebut sebagai konsekuensi karena adanya ketidaksesuaian data yang terjadi dalam rilis survei Poltracking.
"Jadi intinya adalah bahwa perlu ada konsekuensi. Karena kalau sidang etik itu berarti memang harus ada, menurut saya, kesimpulan dari dewan etik," ujar Philip.
Philip menjelaskan sanksi yang saat itu diberikan agar survei yang dikeluarkan Poltracking tetap menyesuaikan prosedur keilmuan. Dia menjelaskan sanksi ini bukan merupakan tekanan terhadap hasil survei yang akan dikeluarkan.
"Yang harus dijaga adalah semua anggota mengikuti prosedur saintifik yang umum dan memang sudah teruji. Karena itu sanksinya ya sebenarnya itu bukan sanksi, kalau menurut saya sih. Ya, tapi tetap namanya sanksi. Karena kan harus dikatakan, kalau nggak ditulis kata sanksi juga sama aja, pasti ini namanya sanksi," jelas Philip.
"Dalam hal sanksi, sanksinya itu hanya adalah kalau memang Poltracking akan merilis survei lagi, mungkin ada dewan etik meminta ada dilihat dulu. Bukan mau dipengaruhi dulu ‘wah ini enggak boleh dirilis yang lain-lain’, tapi dipastikan bahwa prosedurnya tidak mengurangi ketidakcermatan dalam survei yang ini," tambahnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, Hanta Yuda, menilai keputusan terkait sanksi yang diberikan Dewan Etik Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) cacat hukum. Padahal, kata dia, Dewan Etik yang tak mampu memverifikasi dan menyimpulkan metode yang disampaikan Poltracking.
"Putusan Dewan Etik cacat hukum baik formil maupun materiil. Dewan Etik tidak bisa memverifikasi kesahihan implementasikan metode survei karena adanya perbedaan dua set raw data," kata Hanta dalam jumpa pers di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (8/11).
"Menyesatkan ini. Ada dua set raw data yang berbeda. Jadi tidak bisa menilai, tidak bisa memverifikasi sahih atau tidak sahih, (sesuai) SOP atau tidak SOP. Kalau tidak SOP bilang dong. Tapi tidak disebutkan kita tidak memenuhi SOP, tidak sahih, tapi diberi sanksi. Ini ibarat dalam hukum dituduhkan, tapi tidak disebut melanggar," tambahnya.
Karena itu, Hanta meminta Dewan Etik Persepi untuk meminta maaf secara terbuka kepada publik. Sama halnya seperti sanksi yang sebelumnya diumumkan kepada publik.
"Saya mengimbau, mengetuk hati nurani para dewan etik harusnya meminta maaf kepada publik karena menyampaikan dengan tidak tegas orang punya kesalahan, melanggar kode etik yang mana, dan lain sebagainya, tetapi memberi sanksi, bahkan diumumkan kepada publik. Di saat yang sama ada lembaga survei yang juga identik hasilnya, tapi tidak dipanggil," ucap Hanta.
Hanta menyebut tak akan menempuh jalur hukum. Namun dia hanya ingin mengembalikan nama baik lembaganya.
"Karena itu saya berharap (Persepi) meminta maaf kepada publik karena itu telah merugikan kami secara terutama nama baik kami," ungkap Hanta.
Masih dalam kesempatan yang sama, Direktur Poltracking Indonesia, Masduri Amrawi, menduga bahwa sejak awal Poltracking sudah ditarget oleh oknum Dewan Kode Etik. Sebab, hanya Poltracking yang diperiksa, padahal terdapat lembaga survei yang memiliki hasil berbeda.
"Sebelum ramai terkait dengan perbedaan hasil survei Poltracking Indonesia dengan LSI, di percakapan internal Persepi sebenarnya sudah ramai perbedaan survei di luar daerah. Salah satunya di NTT antara Voxpol Indonesia dengan Indikator Politik Indonesia," tutur Masduri.
Kemudian adanya peristiwa di obrolan WhatsApp grup yang dinilai Masduri aneh tentang rencana rilis survei Poltracking. Di situ, kata dia, oknum Dewan Etik sudah mengambil sikap dan menentukan posisi.
"‘Kalau benar kita adili, sudah lama Persepi enggak mecat anggotanya’, Poltracking sudah diancam," kata Masduri membaca salah satu pesan WhatsApp dalam grup itu.
"Jadi kalau kita perhatikan di sini, sudah ada tendensi sejak awal. Kalau benar data berbeda dengan LSI kira kira Poltracking layak untuk dipecat, ini yang mendasari proses itu," imbuhnya.