Pertanyakan Urgensi Gugatan UU Tipikor ke MK, Kejagung: Penegak Hukum Bisa Tumpul
JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) RI tak sepakat dengan anggapan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tak memberikan kepastian, apalagi disebut sebagai “pasal karet”.
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar saat diminta tanggapan soal adanya gugatan uji materi Pasal 2 dan 3 UU Tipikor ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kan semua harus dikembalikan kepada pemenuhan unsur, gitu loh. Saya kira enggak ada itu pasal karet. Tapi itu berpulang kepada politik nasional, nah itu bagian dari politik hukum ya,” ujar Harli kepada wartawan, Jumat (15/11/2024).
Menurut Harli, keberadaan Pasal 2 dan 3 yang sedang dipersoalkan di MK tetap diperlukan oleh aparat penegak hukum untuk menangani persoalan korupsi.
Dia pun mempertanyakan urgensi untuk merevisi, apalagi mencabut dua pasal dalam beleid tersebut.
Justru implementasi untuk kedua pasal tersebut harus diperkuat oleh aparat penegak hukum karena korupsi termasuk kejahatan luar biasa.
“Dalam urgensi apa? Kita tahu bahwa tindak pidana korupsi kan merupakan kejahatan luar biasa, extra ordinary crime. Nah kalo di extra ordinary crime tentunya ada cara-cara untuk penanganannya harus extra ordinary, harus cara-cara luar biasa," ujar Harli.
“Saya pikir masyarakat jangan digiring kepada satu pendapat seolah-olah Pasal 2 Pasal 3 ini karet. Padahal nanti APH juga bisa tumpul. Kalau tumpul lalu korupsi subur siapa yang rugi? Bagaimana Indonesia Emas 2045? Itu ya jadi kita harus jernih. Justru harus diperkuat ya kan karena itu kebutuhan hukum kita saat ini ya,” kata dia.
Diberitakan sebelumnya, tersangka kasus dugaan korupsi investasi fiktif Rp 1 triliun PT Taspen (Persero) Antonius Nicholas Stephanus Kosasih yang merupakan mantan Direktur Investasi PT Taspen (Persero) menggugat UU Tipikor ke Mahkamah Konstitusi.
Gugatan itu teregister dengan nomor perkara 114.PUU-XXII/2024 dan telah disidangkan dalam pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (2/9/2024).
Dalam permohonannya, Antonius menjelaskan bahwa dirinya selaku Direktur Investasi PT Taspen diduga melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal a quo, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Dugaan tersebut terkait dengan investasi PT Taspen (Persero) tahun anggaran 2019 yang dikelola oleh PT Insight Investments Management (PT IIM).
Dalam gugatan Antonius, penetapan tersangkanya dalam kasus ini diduga berdasarkan kebijakan optimalisasi untuk menyelamatkan aset PT Taspen (Persero) terkait Sukuk Ijarah PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. (PT TPSF) yang berpotensi pailit.
Kebijakan tersebut telah melalui analisis tim internal dan tim eksternal independen serta persetujuan rapat direksi.
Kebijakan ini diambil sebagai langkah strategis dan bersifat diskresioner (freies ermessen) untuk menghindari kerugian yang lebih besar bagi PT Taspen (Persero) dan negara.
Namun, kebijakan ini justru dianggap sebagai tindak pidana korupsi karena dinilai merugikan keuangan negara.
Dalam persidangan, kuasa hukum pemohon, Alex Argo Hernowo menilai, penetapan tersangka terhadap tindakan diskresioner ini menunjukkan adanya interpretasi yang terlalu luas terhadap Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, akibat tidak diaturnya secara tegas perbuatan yang dilarang (actus reus) dalam kedua pasal tersebut.
Ditemukan juga putusan pengadilan yang saling bertentangan dalam penerapan kedua pasal tersebut.
Isu kontradiksi ini sering kali muncul dalam kasus-kasus yang mempertanyakan apakah tindakan terdakwa merupakan perbuatan koruptif, risiko dari pengambilan kebijakan yang kurang tepat, atau sekadar pelanggaran administratif.
“Kami meyakini, dicabutnya Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 dalam UU 20/2001 atau dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum, bukanlah upaya untuk melemahkan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Sebaliknya, hal ini bertujuan untuk memperkuat kejelasan dan kepastian hukum dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia,” ucap Alex.
Sebab itu, Alex menilai menyatakan pasal a quo tidak memiliki kekuatan hukum mengikat tidak berarti bahwa perbuatan korupsi tidak dapat dihukum, karena semua perbuatan tindak pidana korupsi sebenarnya diuraikan secara jelas dalam pasal-pasal lainnya di UU Tipikor.
Setelahnya, MK menyatakan menolak gugatan Antonius Kosasih yang meminta penundaan proses penyidikan oleh KPK terhadap dirinya.
Permintaan penundaan penyidikan tersebut diajukan Antonius dalam permohonan provisi (sela) dalam gugatan uji materi UU Tipikor.
“Menolak permohonan provisi pemohon, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang pengucapan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXII/2024, Rabu (16/10/2024).
MK dalam pertimbangannya menilai bahwa Pasal 2 beleid tersebut telah mengandung unsur “setiap orang”; “memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi”; “melawan hukum”; serta “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Sementara itu, pada Pasal 3, beleid itu memuat unsur “setiap orang”; “memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi”; “melawan hukum”; “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Oleh karena itu, majelis hakim menganggap bahwa beleid tersebut sudah memberikan kepastian hukum, dan dalil-dalil permohonan Antonius tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.