Pertimbangan Lengkap MK Hapus Ketentuan Presidential Threshold

Pertimbangan Lengkap MK Hapus Ketentuan Presidential Threshold

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold melalui putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 tentang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Diketahui, aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik terakhir adalah paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional. Sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Pasal 222 UU Pemilu berbunyi, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya”.

Dalam putusannya, Mahkamah mengungkapkan sejumlah pertimbangan sehingga akhirnya mengubah pendirian dari putusan-putusan sebelumnya terkait presidential threshold.

Diketahui, sudah lebih kurang 30 kali MK menyidangkan gugatan mengenai UU Pemilu terkait presidential threshold. Sejauh itu, Mahkamah menyatakan bahwa ambang batas tersebut adalah kewenangan dari pembuat undang-undang.

Lantas, apa saja pertimbangan yang membuat MK mengubah pendiriannya dalam putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.

Dalam pertimbangan putusan, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebut bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur ambang batas pencalonan bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat,

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Tak hanya itu, Saldi mengatakan, presidential threshold juga melanggar moralitas dan keadilan.

“Namun, juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945," ujar Saldi

Selain membatasi hak politik terkait maju sebagai calon presiden dan wakil presiden, Mahkamah menilai bahwa keberadaan ambang batas berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Pasalnya, MK mengatakan, telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat dua pasangan calon.

Padahal, menurut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, “akar rumput” mudah terjebak dalam polarisasi yang bisa mengancam kebhinekaan Indonesia.

Bahkan, Mahkamah berpandangan, jika aturan ambang batas terus diberlakukan maka tidak tertutup kemungkinan hanya akan ada pasangan calon tunggal.

“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” kata Saldi dikutip dari laman resmi MK.

Lebih lanjut, dalam putusannya, MK memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak.

Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Sumber