Perusahaan yang Beli Bijih Timah dari Penambang Ilegal Ngantor di Aset Milik PT Timah

Perusahaan yang Beli Bijih Timah dari Penambang Ilegal Ngantor di Aset Milik PT Timah

JAKARTA, KOMPAS.com - Perusahaan yang membeli bijih timah dari penambang ilegal CV Salsabila Utama disebut berkantor di gedung aset milik PT Timah Tbk.

Informasi ini diungkapkan mantan Direktur Operasi dan Produksi (Dirops) PT Timah Tbk Alwin Albar.

Ia dihadirkan sebagai saksi dugaan korupsi yang menjerat eks Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan kawan-kawan.

Mulanya, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Rianto Adam Pontoh mendalami hubungan Direktur CV Salsabila Utama Tetian Wahyudi dengan jajaran direksi PT Timah, baik Direktur Utama maupun Direktur Keuangan.

“Yang saya tahu Tetian temannya Direktur Keuangan, Pak,” kata Alwin yang dihadirkan secara online di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2024).

Adapun Direktur Keuangan PT Timah yang dimaksud, yakni Emil Ermindra. Saat ini, ia duduk di bangku terdakwa bersama Riza dan kawan-kawan.

Setelah itu, Hakim Rianto mendalami kantor CV Salsabila Utama. Namun, Alwin mengaku lupa alamat resmi perusahaan pengepul bijih timah itu.

Hakim Rianto tidak menyerah dan terus mengejar keterangan dari Alwin yang saat ini juga turut terjerat kasus timah.

“Yang fakta lho ya, fakta. Dia berkantor di mana setiap hari? Di mana?” tanya Hakim Rianto.

“Alamatnya saya enggak ingat cuma aset timah yang dikontrakkan,” jawab Alwin.

“Jadi dia berkantor di salah satu aset PT Timah?” tanya Hakim Rianto memastikan.

“Iya,” ujar Alwin.

Alwin mengaku tidak mengetahui persis siapa yang memberi izin bagi CV Salsabila Utama untuk berkantor di salah satu aset PT Timah.

Menurutnya, di PT Timah terdapat divisi tersendiri yang mengelola aset non-operasional.

“Biasanya dia yang mengontrakkan, Pak,” tutur Alwin.

CV Salsabila Utama dalam sidang disebut menjadi perusahaan yang menjual bijih timah ke PT Timah Tbk. Padahal, bijih itu diambil dari wilayah IUP perusahaan negara tersebut.

Dalam surat dakwaannya, jaksa menyebut Emil bersama-sama Direktur Utama PT Timah saat itu, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Tetian Wahyudi mendirikan CV Salsabila Utama.

Perusahaan itu digunakan untuk membeli bijih timah dari penambang ilegal perorangan di wilayah IUP PT TImah.

“Adapun atas pembelian bijih timah dari CV. Salsabila Utama tersebut PT Timah, Tbk mengeluarkan uang sebesar Rp 986.799.408.690,” tulis jaksa dalam dakwaannya.

Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.

Mochtar, Emil Ermindra, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama-sama dengan crazy rich Helena Lim.

Perkara ini juga turut menyeret suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis yang menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).

Bersama Mochtar, Harvey diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.

Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.

Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.

Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.

Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena selaku Manager PT QSE.

Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.

“Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.

Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.

Sumber