Perusak Gerbang DPRD NTB Diburu Pakai Teknologi Face Recognition
MATARAM, KOMPAS.com - Polisi menggunakan teknologi face recognition untuk memburu para pelaku perusakan gerbang Kantor DPRD Nusa Tenggara Barat.
Perusakan terjadi saat aksi unjuk rasa tolak pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada pada 23 Agustus 2024 lalu.
"Jadi, berawal dari adanya laporan pihak DPRD NTB, kami melakukan penyelidikan dengan lebih dahulu melakukan identifikasi lapangan menggunakan teknologi pengenalan wajah, face recognition. Itu yang kami gunakan."
Demikian kata Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Kepolisian Daerah NTB Komisaris Besar Polisi Syarif Hidayat di Mataram, Selasa (29/10/2024), seperti dikutip Antara.
Dia menjelaskan, foto dan video yang didapatkan saat aksi unjuk rasa tersebut menjadi obyek deteksi kepolisian menggunakan teknologi face recognition.
"Setelah identitasnya kami dapatkan, maka kami panggil satu per satu, mintai keterangan, dari yang satu orang, baru terungkap peran yang lain," ucap dia.
Oleh karena itu, Syarif menegaskan, hasil permintaan keterangan dan bukti dalam video serta foto aksi di lapangan tersebut yang menjadi dasar pihak kepolisian meningkatkan status penanganan perkara perusakan ini ke tahap penyidikan.
Syarif menyampaikan perkembangan kasus enam tersangka yang berasal dari kalangan mahasiswa tersebut kini menuju proses pelimpahan berkas ke jaksa peneliti atau tahap satu.
"Mungkin, dalam waktu dekat ini kami akan tahap satu untuk berkas enam tersangka," ujar dia.
Dia menyampaikan bahwa potensi restorative justice dalam kasus ini tetap ada. Namun, peluang penyelesaian perkara tanpa melalui persidangan tersebut bisa terjadi apabila sudah memenuhi syarat formil dan materiil.
"Wadah restorative justice itu memang ada, tetapi harus ada kesepakatan damai antara para pihak, syarat formil dan materiil harus terpenuhi sesuai Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021," kata dia.
Enam mahasiswa yang menjadi tersangka dalam kasus ini berinisial HF, MA, MAG, DI, KS, dan RR. Penyidik menetapkan mereka sebagai tersangka dengan menerapkan sangkaan Pasal 170 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan enam bulan penjara.
Dalam proses penyidikan ini pihak kepolisian tidak melakukan penahanan dengan mempertimbangkan sikap kooperatif para tersangka.