Pesan Singkat dan Jejak yang Abadi
Satu tweet, satu nyawa bisa berubah. Satu unggahan, satu karier bisa hancur. Pada era digital, pesan singkat memiliki kekuatan yang tak terbayangkan sebelumnya. September lalu, seorang mahasiswa kehilangan kesempatan magang karena tweet lamanya yang kontroversial. Sebuah status WhatsApp berbau SARA membuat seorang karyawan diberhentikan. Inilah realitas hari ini kata-kata singkat bisa meninggalkan jejak digital yang abadi.
Kita telah berevolusi dari era SMS 160 karakter ke platform pesan instan yang lebih kompleks. X (Twitter) dengan 280 karakternya, TikTok dengan video 60 detik, hingga Instagram Stories yang menghilang dalam 24 jam, semua mengkondisikan kita untuk berkomunikasi secara singkat, cepat, dan instan. Seperti yang dikatakan Marshall McLuhan, Medium is the message, cara kita berkomunikasi membentuk cara kita berpikir dan berperilaku.
Budaya pesan singkat telah mengubah cara kita berbahasa dan berpikir. Dr. John McWhorter, ahli linguistik dari Columbia University, mengamati bahwa bahasa internet telah menciptakan bentuk literasi baru. Kita menyaksikan evolusi bahasa yang dipercepat, ujarnya. Singkatan, emoji, dan meme menjadi bahasa universal baru. Namun, kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran kompleks mulai tereduksi.
Dampak sosialnya sangat nyata. Cancel culture yang dipicu oleh tweet lama, viral konten yang menghancurkan reputasi, hingga penyebaran hoaks yang tak terkendali, semua berawal dari pesan singkat yang disebarkan tanpa pemikiran matang. Data Kementerian Kominfo mencatat lebih dari 1.500 kasus viral konten yang berujung hukum sepanjang 2023. Fenomena ini menunjukkan bagaimana kata-kata yang dilepas dalam hitungan detik bisa memiliki konsekuensi yang berlangsung bertahun-tahun.
Dari sisi psikologis, budaya komunikasi singkat menciptakan tekanan baru. Dr. Sherry Turkle, psikolog MIT, dalam bukunya Reclaiming Conversation mengungkapkan bahwa komunikasi singkat telah menciptakan anxiety of instant response, yakni kecemasan untuk selalu merespons dengan cepat. Kita kehilangan ruang untuk refleksi, jelasnya. Generasi muda tumbuh dengan ekspektasi bahwa semua komunikasi harus instan, semua respons harus segera.
Ekonomi perhatian telah mengubah cara otak kita memproses informasi," kata Dr. Gloria Mark, profesor informatics UC Irvine. Penelitiannya menunjukkan bahwa attention span manusia modern telah menurun dari 12 detik pada tahun 2000 menjadi 8 detik pada 2023. Kita menjadi generasi yang terbiasa dengan sound bite, yakni potongan informasi singkat yang mudah dicerna tapi sering kehilangan konteks.
Lantas, bagaimana kita beradaptasi? Literasi digital menjadi kunci. Sebelum mengirim pesan atau membagikan konten, terapkan prinsip THINK Is it True? Is it Helpful? Is it Inspiring? Is it Necessary? Is it Kind? Mindful posting, praktik berhenti sejenak dan mempertimbangkan dampak jangka panjang sebelum mem-posting, perlu menjadi kebiasaan. Verifikasi sebelum share juga krusial. Dalam ekosistem digital, setiap pengguna adalah gatekeeper informasi, kata Pratiwi Utami, peneliti media digital UI. Kita perlu memahami bahwa tanggung jawab tidak berakhir saat kita menekan tombol ‘kirim’, justru saat itulah tanggung jawab kita dimulai.
Di tengah arus deras informasi digital, kita perlu mengembalikan kedalaman dalam berkomunikasi. Pesan mungkin singkat, tapi pemikiran di baliknya tidak boleh dangkal. Karena di dunia yang semakin terhubung ini, kata-kata kita bisa menjadi pedang atau penyembuh, racun atau obat. Pilihan ada di jari kita.Deswinta Asnurifa mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta