Pilkada 2024 dan Resentralisasi Kekuasaan
Kita tengah menghadapi fenomena resentralisasi kekuasaan. Otonomi daerah yang diperjuangkan pada era Reformasi kini terancam buyar.
Resentralisasi alias pemusatan kembali kekuasaan ke tangan pemerintah pusat memang sangat terasa sejak periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tercermin dalam sejumlah produk legislasi. Pertama, pengesahan revisi Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang mengubah setidaknya 15 pasal terkait kewenangan daerah mengelola tambang. Antara lain, penguasaan mineral dan batubara yang awalnya diselenggarakan oleh pemerintah daerah menjadi diselenggarakan oleh pemerintah pusat.
Kedua, pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang memangkas sejumlah kewenangan pemerintah daerah. Misalnya, dalam penataan ruang, pemda hanya menjadi pelaksana apa yang telah ditentukan pusat. Bahkan semua urusan konkuren (urusan yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah) harus dibaca dan dimaknai sesuai dengan ketentuan UU Cipta Kerja. Sehingga seluruh aturan pemda harus sesuai kandungan nilai UU Cipta Kerja.
Seakan menegaskan semangat resentralisasi kekuasaan pemerintah pusat, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam Rapat Koordinasi Nasional Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bogor baru-baru ini, mengingatkan para kepala daerah untuk menjalankan visi dan misi yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto. Ia menyatakan tidak ada visi-misi daerah, yang ada adalah visi-misi Presiden.
Melemahkan Demokrasi Lokal
Resentralisasi kekuasaan dari tangan daerah kepada pusat tersebut juga berdampak buruk bagi eksistensi demokrasi lokal. Hal itu tercermin dalam kompetisi pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024, di mana demokrasi lokal tidak berjalan dengan optimal karena berbagai hambatan yang membatasi kemandirian politik di tingkat daerah. Antara lain sentralisasi dalam proses pencalonan; keputusan pencalonan lebih banyak dikendalikan oleh pengurus pusat partai politik daripada pengurus daerah. Akibatnya, calon yang diusung sering merupakan figur yang dekat dengan elite nasional, bukan tokoh lokal yang memahami kebutuhan masyarakat setempat.
Praktik ini melemahkan esensi demokrasi lokal karena masyarakat kehilangan ruang untuk memilih calon pemimpin yang benar-benar mereka inginkan. Sayangnya, kecenderungan sentralisasi dalam pencalonan calon kepala daerah tersebut telah dilegalkan secara jelas dalam Pasal 186A ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016. Bahwa pasangan calon kepala daerah yang didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah harus selaras dengan pasangan calon kepala daerah yang diberi rekomendasi oleh pengurus pusat/DPP partai politik.
Tidak optimalnya demokrasi lokal itu juga diperparah dengan kehadiran Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yang merupakan perluasan koalisi partai-partai politik pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran, untuk memenangkan Pilkada 2024 di beberapa daerah yang dianggap strategis. Kehadiran KIM Plus kuat dengan aroma resentralisasi, karena menginginkan terciptanya pemerintahan daerah yang seiring dengan pemerintah pusat melalui Pilkada 204 dengan menggaet banyak parpol. Selain membawa semangat resentralisasi, KIM Plus sebagai koalisi besar partai dalam Pilkada 2024 dapat merusak demokrasi lokal karena menguatkan dominasi elite nasional dalam proses pencalonan para calon kepala daerah. Dengan koalisi besar yang terpusat, ruang untuk pengurus partai di tingkat lokal semakin terbatas. Sehingga pencalonan kepala daerah lebih didasarkan pada kompromi elite partai di pusat, bukan aspirasi masyarakat lokal. Hal ini mengurangi peluang munculnya pemimpin yang memahami konteks daerah dan menekan partisipasi masyarakat dalam menentukan para calon pemimpinnya.
Dua Fenomena
Kondisi rusaknya demokrasi lokal dalam Pilkada 2024 itu setidaknya terlihat pada dua fenomena yang terjadi dalam kompetisi Pilkada 2024. Pertama, maraknya endorsement politik dari tokoh nasional dan para ketua umum partai politik demi memenangkan para calon yang dijagokan. Para tokoh nasional itu meng-endorse para calon, tentu sayangnya dengan meminimalkan faktor gagasan dan program kerja sang calon. Sehingga wajar saja jika banyak calon kepala daerah di Pilkada 2024 yang maju tidak memiliki gagasan atau program kerja yang jelas. Sebagian besar dari mereka seakan hanyalah "boneka" dari elite yang ditawarkan di tengah rakyat daerah. Sehingga mereka tidak membutuhkan visi besar atau ide brilian untuk menggaet hati rakyat, melainkan dukungan dari para elite. Dukungan ini hadir dalam bentuk endorsement, logistik (politik uang), dan permainan kekuasaan. Akibatnya, yang terjadi adalah ajang memenangkan kompetisi elektoral, bukan upaya untuk menarik hati rakyat.
Kedua, menurunnya partisipasi rakyat –kondisi inilah yang terjadi pada pelaksanaan Pilkada 2024. Komisioner KPU RI August Mellaz mengatakan, partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 di bawah 70 persen. Di berbagai daerah memang ada kecenderungan tingkat partisipasi rakyat yang menurun. Seperti di Pilkada Jakarta, partisipasi rakyat turun dari 77% pada 2017 menjadi hanya 53% di 2024.
Menurunnya tingkat partisipasi rakyat tersebut tidak bisa dilepaskan dari minimnya keterlibatan publik dalam proses pencalonan kepala daerah. Hal itu, karena terkesan pencalonan hanya urusan partai-partai politik atau elite politik semata, sehingga keinginan konstituen kurang didengarkan dalam menentukan calon pemimpinnya. Selain itu, banyaknya calon kepala daerah yang tidak mampu mengelaborasi isu lokal yang menjadi perhatian masyarakat. Ketidakmampuan ini membuat kandidat dianggap kurang memiliki kecakapan dalam menangani permasalahan spesifik di daerah. Ketika calon dianggap tidak mampu memberikan solusi konkret, kepercayaan pemilih pun melemah. Hal itu menyebabkan banyak pemilih berkesadaran politik tinggi memilih untuk tidak hadir di TPS. Mereka enggan menitipkan suara kepada kandidat yang dinilai tidak sesuai harapan. Bagi mereka, golput menjadi bentuk protes terhadap sistem yang tidak mencerminkan nilai demokrasi.Ade Wiharso peneliti Inmind Institute