Pilkada Jakarta: Kemenangan Politik Riang Gembira

Pilkada Jakarta: Kemenangan Politik Riang Gembira

MASYARAKAT Jakarta terbukti lebih menyukai politik “riang gembira” yang ditawarkan pasangan Pramono Anung-Rano Karno.

KPU Jakarta telah menetapkan pasangan Pramono-Rano sebagai pemenang satu putaran pada Pilkada Jakarta 2024.

Pasangan ini memperoleh suara sebanyak 50,07 persen, atau 2.183.239 suara dari jumlah pemilih yang menggunakan hak suara.

Sementara itu, Ridwan Kamil-Suswono didukung 1.718.160 suara dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana sebanyak 459.230 suara (Kompas.com, 08/12/2024).

Kemenangan politik “riang gembira” tentu saja menarik dibaca. Jakarta terbukti tidak serta merta bisa dibaca menggunakan cara pandang yang sama dengan daerah lain.

Pramono-Rano bukan pasangan yang telah disiapkan jauh-jauh hari untuk tarung memperebutkan kursi gubernur-wakil gubernur Jakarta. Pasangan ini “dijodohkan” menjelang pendaftaran di KPU Jakarta.

Itu pun berkat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang membatalkan Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada. Batasan 20 persen kursi atau 25 persen suara sah pemilu anggota DPRD dibatalkan.

Putusan tersebut tentu saja menguntungkan parpol. Tak hanya parpol peserta Pemilu 2024 nonparlemen, tapi juga parpol peraih kursi di DPRD, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Parpol tidak terkunci strategi koalisi besar.

Dalam konteks Jakarta, semula hanya ada pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang didukung koalisi besar, Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus dan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana dari jalur independen. Ridwan Kamil diusulkan Partai Golkar, dan Suswono dicalonkan PKS.

Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 membuka kesempatan PDI-P. Semula PDI-P tak mendukung koalisi besar, tapi juga tak bisa mengusung calon sendiri. Parpol asuhan Megawati Soekarnoputri itu terkunci.

Kesempatan di menit-menit terakhir itu dimanfaatkan PDI-P untuk mengusung calon sendiri. Namun, PDI-P tidak juga segera memutuskan figur yang diusung.

Terjadi dinamika dan tarik-menarik yang kuat di internal antara mengusung Anies Baswedan yang elektabilitasnya masih memuncaki berbagai survei dan kader sendiri.

Nama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai kader PDI-P masih kompetitif berdasarkan survei sejumlah lembaga.

Namun, kematangan sang ketua umum, Megawati Soekarnoputri, teruji ketika harus memutuskan siapa yang diusung partainya untuk Jakarta.

PDI-P, menurut saya, akhirnya memilih jalan “soft”. Tak mengusung Anies, meski berpeluang mengalahkan jagoan KIM Plus, tapi kontraksi secara internal cukup tinggi. Pilihan pun jatuh pada Pramono Anung dan Rano Karno.

Pramono adalah kader senior PDI-P yang telah lama menjadi “orang Istana”. Dia dikenal cukup dekat dengan berbagai kalangan, termasuk elite KIM Plus, meski tak banyak dikenal oleh publik.

Profil Pramono “melembutkan” relasi politik antara PDI-P dan Istana yang sejak pemilihan presiden tegang.

Pramono lalu dipasangkan dengan Rano Karno sebagai wakil gubernur. Rano Karno menambah profil “soft” pasangan tersebut. Dia adalah seniman, berpengalaman mengelola Provinsi Banten, dan memiliki citra kuat mewakili komunitas Betawi melalui Si Doel.

Wajah lembut pasangan Pramono-Rano semakin terbentuk dengan penunjukkan Lies Hartono sebagai Ketua Tim Pemenangan. Dia bukan tokoh politik, tapi seorang komedian yang terkenal dengan sebutan Cak Lontong.

Rupanya Megawati Soekarnoputri tetap meyakini bahwa politik adalah kerja keras di lapangan, bukan popularitas survei.

Semula pasangan Pramono-Rano tak pernah diperhitungkan. Pelan tapi pasti elektabilitasnya merangkak naik menurut survei. Ujungnya KPU Jakarta menetapkannya sebagai pemenang satu putaran.

Tampak sekali bahwa pasangan Pramono-Rano memang diturunkan untuk bertarung di lapangan politik. Mereka harus bekerja keras di lapangan. Membaca wajah dan isi pikiran warga Jakarta dengan saksama dan dalam tempo pendek.

Di mata saya, pilihan narasi pasangan Pramono-Rano sangat cerdas untuk warga Jakarta yang sehari-hari dibebani hidup serba serius dan menegangkan.

Tawaran politik “riang gembira” dengan komandan pemenangan Cak Lontong, menurut saya, merefleksikan kecerdasan dan kepekaan pasangan Pramono-Rano terhadap kompleksitas Jakarta dari berbagai aspek.

Dengan politik “riang gembira” hendak didekonstruksi kehidupan politik yang selama ini cenderung dimengerti dan dijalani sebagai aktivitas yang berat, penuh sinisme, ketegangan dan permusuhan.

Sejauh ini politik cenderung menampilkan sinisme, prasangka buruk, ketegangan dan permusuhan.

Sebaliknya, politik “riang gembira” diasumsikan menampilkan optimisme, keselarasan, dan penyatuan. Politik “merangkul”, bukan “memukul”.

Hal itu tampak sekali dari cara dan gaya Pramono-Rano mendekati warga Jakarta. Prinsip “merangkul” sangat tampak terhadap warga Jakarta, baik retorika dan tindakannya.

Bahkan, Pramono-Rano sukses menyatukan pendukung Anies dan Ahok yang masih relatif kuat di Jakarta, yang sejauh ini bersimpang jalan.

Dari sisi retorika, pasangan Pramono-Rano tampak memiliki kepekaan tuturan. Praktis tak ada retorika yang membuat blunder.

Agak berbeda dengan Ridwan-Suswono, yang blunder saat bicara soal janda. Hal ini sesungguhnya merefleksikan pemahaman mereka, yang bisa dinilai tak paham dan tak peka soal gender.

Apalagi untuk warga Jakarta, yang dari segi pendidikan dan ekonomi serta kesadaran gender boleh jadi jauh lebih baik daripada daerah lain.

Saya melihat, metode Cak Lontong berkomedi dipakai menerjemahkan paradigma politik “riang gembira”. Pramono-Rano memilih Cak Lontong bukan hanya populer, tapi memahami cara komedinya yang dipandang cocok untuk menerjemahkan politik “riang gembira”.

Cak Lontong membangun komedinya dengan mendekonstruksi realitas. Ia membolak-balik, melipat-lipat kata/bahasa yang lazim (biasa) dipakai masyarakat.

Cak Lontong lalu mengajak merekonstruksi realitas – dan ini menjadi kekhasan komedinya – dengan mengatakan “mikir”.

Cak Lontong mengajak kita meledek realitas atau pandangan umum yang selama ini biasa kita jalani. Bisa jadi, di dalam realitas atau pandangan umum yang sudah biasa itu ada sesuatu yang salah, tapi dibenar-benarkan, yang tak patut tapi dipatut-patutkan, yang tak lazim tapi dilazim-lazimkan.

Begitulah, realitas atau pandangan umum bisa saja dipenuhi kekonyolan, keganjilan, ketololan.

Dalam konteks ini, Cak Lontong mengajak menyadari kekonyolan, keganjilan, ketidakpatutan yang ada di dalamnya. Mengajak mendekonstruksi, sekaligus rekonstruksi.

Gaya komedi Cak Lontong berhasil mengocok perut penonton, karena kita tak merasakan ada kekonyolan, keganjilan dan ketololan dalam hidup sehari-hari.

Tatkala normalisasi kekonyolan, keganjilan dan ketololan itu diledek oleh Cak Lontong, kita tertawa. Ternyata ada yang lucu (aneh) dalam keseharian kita, yang dilanggengkan melalui kata/bahasa.

Warga Jakarta telah memilih. Ternyata yang banyak dipilih bukan yang banyak didukung parpol dan disokong pula oleh presiden dan mantan presiden. Yang dipilih adalah pasangan yang nyata bekerja keras dan cerdas memahami aspirasi warga Jakarta.

Sumber