Pilkada Langsung dan Demokrasi Jual Beli
Presiden Prabowo Subianto mengamini usulan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia agar kepala daerah kembali dipilih lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dia mengakui sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang mulai dipraktikkan sejak 2005 menelan biaya sangat mahal. "Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah," kata Prabowo 12 Desember lalu.
Selain berbiaya tinggi, menghabiskan lebih dari Rp 100 triliun APBD di berbagai daerah, figur-figur yang dihasilkan umumnya bukan para kader terbaik melainkan sekadar mereka yang punya uang dan popular lewat praktik pencitraan.
Ekses lainnya, di sejumlah daerah figur yang muncul adalah dari dinasti politik tertentu. Kajian lembaga kajian politik, demokrasi, dan kenegaraan Nagara Institute, seperti ditulis Kompas, 20 Oktober 2023, dalam pilkada 2020, terdapat 124 calon kepala daerah yang terkait dengan dinasti politik. Jumlah ini terus meningkat signifikan di setiap periode pilkada.
Belum lagi terjadinya perusakan moral politik masyarakat secara masif lewat politik uang atau bansos. Dengan demikian, kedaulatan rakyat yang diagungkan menjadi sangat murah harganya. Besarnya ongkos politik untuk mengikuti pilkada antara lain untuk membiayai survei, konsultan politik, iklan di media, dan tim relawan. Inilah kerugian yang jauh lebih mahal ketimbang sekadar nilai materi.
Dari mana para calon memodali dirinya untuk mengkatrol citra diri dan membeli suara rakyat? Antara lain lewat sponsor atau bohir tertentu yang harus dikembalikan lewat kebijakan-kebijakan tertentu yang menguntungkannya. Akibat mahalnya biaya yang dikeluarkan para calon, mereka yang terpilih akhirnya melakukan korupsi untuk mengembalikan modal.
Tren para gubernur, bupati/walikota yang ditangkap KPK pun terus meningkat. KPK mencatat 124 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi sejak 2004-2019. Dari jumlah itu, 21 di antaranya adalah gubernur dan 103 walikota/bupati. "Demokrasi kita tidak sehat. Demokrasi jual beli," kata Mahfud dalam acara ulang tahun ke-56 KAHMI di Hotel Kartika Chandra, 18 September 2022.
Padahal pilkada langsung semangat awalnya adalah agar daerah-daerah memiliki pimpinan yang mumpuni, berkualitas, dan mampu membangun daerahnya. Dengan pemilihan langsung itu, partisipasi masyarakat lebih besar untuk memilih pemimpinnya. Melalui pilkada langsung, kepala daerah kemudian diharapkan menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya.
Sejalan dengan itu, pelaksanaan pemilu diharapkan semakin berkualitas. Partai politik (parpol) menjalankan fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi, penyelenggara pemilu makin berkualitas, dan masyarakat menjadi pemilih yang cerdas. Namun setelah beberapa waktu berjalan apa yang diharapkan, dicitakan, didealkan itu nyatanya jauh panggang dari api. Mudarat yang ditimbulkan selama pilkada langsung justru sangat destruktif seperti telah disebutkan di atas.
Alih-alih melaksanakan fungsi kaderisasi, parpol justru sangat pragmatis. Mereka cenderung sebagai broker dengan menerapkan mahar yang mahal bagi para figur yang ingin maju menjadi kepala daerah. Alih-alih menjalankan sistem merit, parpol justru malah cenderung mengebangkan politik kekerabatan dan dinasti politik.
Parpol juga gagal mendidik dan membangun kesadaran konstituennya untuk menggunakan aspirasi mereka secara rasional. Belum lagi ada masalah independensi dari penyelenggara pemilu, dan isu netralitas aparatur sipil negara.
Dengan sederet mudarat seperti itu, argumentasi sejumlah aktivis dan akademisi yang keukeuh ingin pilkada secara langsung bolehlah diabaikan. Sambil semua pihak membenahi diri dan menjalankan fungsinya dengan optimal, ada baiknya pilkada langsung dijeda. Apalagi Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945 menyatakan, "Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis." Artinya demokratis, bisa dilakukan pemilihan langsung, bisa dilakukan melalui perwakilan seperti bunyi Sila ke-4 Pancasila.
Begitu juga di dalam pasal 22 E ayat 2 disebutkan bahwa Pemilihan Umum itu hanya umum menyangkut DPR, Pemilihan DPD, Pemilihan Presiden dan Pemilihan DPRD. Dengan demikian kepala daerah bukan merupakan bagian dari pemilihan umum.
Apakah pemilihan melalui DPRD otomatis menutup praktik korupsi dan transaksional? Tentu saja tidak. Dibuat pemilihan langsung asumsinya justru untuk mengikis praktik-praktik kasat mata semacam itu. Namun yang terjadi keduanya tetap berlangsung secara lebih massif melibatkan segenap elemen masyarakat. Ini yang awalnya sama sekali tak terbayangkan. Dengan mengembalikannya ke DPRD, setidaknya praktik tersebut lebih terbatas atau terlokalisir. Para penegak hukum seperti KPK dengan segala kecanggihan dan rekam jejak yang dimiliki akan lebih mudah mensiasatinya.
Satu-satunya yang tumbuh relatif baik di era pilkada langsung adalah industri pencitraan lewat kemunculan para konsultan politik, lembaga survei, dan tim kreatif media sosial. Mereka lah yang sepertinya akan merasa paling rugi bila pilkada langsung dihentikan.
Sudrajat. Wartawan detikcom. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis. Pendapatnya tidak mewakili pandangan redaksi tempat penulis bekerja.