Pilu Korban Pemerkosaan di India Kesulitan Cari Keadilan
Anak di bawah umur, terutama anak perempuan, sering menjadi sasaran predator seksual di negara bagian Madhya Pradesh, India .
Di sebuah kota kecil di pedesaan, DW bertemu dengan keluarga Masoom yang berusia 6 tahun. Dia diperkosa oleh seorang pria berusia 27 tahun di siang bolong.
Ibunya, Fatima, mengenang hari yang mengerikan itu. "Saya sedang memasak, dan neneknya sedang mencuci piring. Kami tidak mendengar apa pun. Putri saya sedang membaca pelajaran bahasa Urdu di toko yang ada di dekat rumah, bermain seperti yang biasa dilakukannya setiap hari. Dia masuk ke dalam sambil menangis dan memberi tahu kami bahwa ada seorang pria yang datang dan melepaskan piyamanya. Dia berdarah dari bagian pribadinya. Kami mengerti apa yang telah terjadi. Pria itu mengancam akan membunuhnya jika dia membuat keributan."
Kini, Masoom takut terhadap laki-laki, termasuk ayahnya sendiri. "Putri saya sangat polos dan pintar, tetapi ini terjadi padanya. Dia dirawat di rumah sakit selama lebih dari dua minggu. Sekarang dia takut pada ayahnya sendiri. Dia menolak tidur di sampingnya," kata Fatima.
Neneknya, Sultana, mengkhawatirkan trauma jangka panjang. "Dulu dia begitu penuh kehidupan dan kegembiraan. Keceriaan itu telah menghilang dari wajahnya sejak kejadian itu. Dia hampir tidak makan, dan sedikit pun yang dia makan tidak membuatnya kuat. Saya tidak ingin kehidupan gadis lain hancur seperti hidupnya," kata Sultana.
Kisah Masoom bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Menurut perkiraan terbaru UNICEF, lebih dari 370 juta anak perempuan dan perempuan yang hidup saat ini di seluruh dunia telah mengalami pemerkosaan atau kekerasan seksual sebelum usia 18 tahun.
Pencarian keadilan keluarganya berakhir dengan pemerkosa yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak dari Pelanggaran Seksual, POCSO. Namun, hasil seperti itu jarang terjadi. Di pedesaan India, kasus seperti Masoom bahkan sering kali tidak menjadi berita utama.
India mencatat hampir 39.000 kasus pemerkosaan anak pada tahun 2022, tetapi angka-angka tersebut hanya menceritakan sebagian dari cerita. Untuk setiap pemerkosaan yang dilaporkan, lebih banyak kasus tidak dilaporkan karena korban dan keluarga mereka dibungkam oleh intimidasi, dinamika kasta, dan sistem peradilan yang rusak. Selain itu, hanya 3 persen dari kasus pemerkosaan anak yang berakhir dengan hukuman pidana pada tahun 2022.
Di balik angka-angka ini, ada korban seperti Chandralekha, seorang gadis Dalit berusia 14 tahun. Pemerkosanya, seorang pria kasta atas, memanfaatkan keberpihakan otoritas untuk mencari aman.
"Saya sedang berjualan teh ketika dia menghentikan dan memaksa saya," kata Chandralekha dengan suara bergetar.
Kelompok hak asasi manusia telah lama mendokumentasikan bagaimana pria kasta atas menggunakan kekerasan seksual sebagai senjata melawan minoritas Dalit, seringkali tanpa konsekuensi hukum. Ayah Chandralekha, Manoj Kumar, telah berulang kali diancam karena berusaha mendapatkan keadilan bagi putrinya.
"Saya berada di bawah banyak tekanan, tetapi saya tidak akan menyerah. Mereka mengancam akan membunuh saya. Pemerkosa itu berkata kepada saya, ‘Saya kasta atas, kamu kasta bawah.’ Dia menggunakan hinaan terkait kasta. Dia berkata, ‘Kamu kasta bawah, dan kami akan memastikan kamu menderita,’" kata Manoj kepada DW.
Instansi penegakan hukum di India juga masih didominasi oleh warga kasta atas. Laporan tahun 2020 menemukan bahwa polisi sering mengabaikan kejahatan terhadap perempuan Dalit. Dalam kasus Chandralekha, polisi diduga meminta keluarganya untuk mengajukan pengaduan pelecehan alih-alih tuduhan pemerkosaan. Hal ini memungkinkan terdakwa untuk mendapatkan jaminan dan terus mengintimidasi keluarga.
Bahkan jika kasusnya sampai ke pengadilan, hukuman bagi pelaku diyakini akan berbobot ringan.
"Ketika saya meminta polisi untuk mencatatnya sebagai pemerkosaan, mereka menolak. Mereka baru menangkapnya setelah 15 hari, dan itu karena saya menelepon saluran bantuan perempuan. Dia dibebaskan dengan jaminan segera setelah itu. Polisi tidak mau mendengarkan saya. Mereka mengatakan kepada saya, ‘Mengapa kami harus mengikuti instruksi Anda?’" kata Manoj.
Setelah kasus pemerkosaan dan pembunuhan seorang dokter di Kolkata baru-baru ini memicu kemarahan besar, Perdana Menteri Narendra Modi mengklaim India "marah" atas maraknya fenomena kekerasan seksual.
"Sebagai masyarakat, kita harus berpikir serius tentang kekejaman terhadap ibu, anak perempuan, dan saudara perempuan kita," katanya dalam pidato nasional.
Namun, para kritikus berpendapat bahwa tanggapan pemerintahnya sebagian besar hanya sekadar performatif. Tuduhan kekerasan seksual terus berlanjut, bahkan terhadap anggota partainya sendiri, sementara masalah sistemik, seperti investigasi polisi yang buruk dan dukungan institusional bagi para pelaku, masih belum ditangani.
Pengadilan di India, terutama di daerah pedesaan, sering kali dipenuhi dengan ketidakefisienan, bias, dan korupsi.
Contohnya adalah kasus yang dialami Sarita. Gadis berusia 15 tahun itu diculik dan diperkosa beramai-ramai. Meskipun polisi telah menemukan tersangka pelaku, pengadilan berjalan sangat lambat. Kakaknya, Suresh, satu-satunya pencari nafkah keluarga, malah berulang kali dipanggil oleh polisi karena formalitas kecil.
"Setiap kali mereka memanggil saya, saya harus pergi," katanya kepada DW. "Mereka mengatakan butuh waktu setahun sebelum hukuman dijatuhkan. Bagaimana saya bisa menghidupi keluarga jika saya harus berurusan dengan ini?"
Penundaan ini terjadi karena suatu alasan. Menurut pengacara pembela Vaibhav Bhatnagar, pengadilan pedesaan sering kali kewalahan.
"Hanya ada satu hakim sesi untuk semua kasus ini, dan keluarga ditekan untuk berkompromi. Itulah sebabnya tingkat hukuman sangat rendah."
Sementara itu, keluarga dilecehkan, dikucilkan, dan didorong untuk membatalkan kasus.
Pelaku sering kali terbebas dari rasa malu setelah melakukan pemerkosaan, dan sebaliknya stigma itu justru menimpa korban. Korban seperti Chandralekha dan keluarganya dijauhi oleh masyarakat dan sering kali dipaksa mengasingkan diri.
"Toko jatah makanan kami ditutup. Kami harus menjual ternak kami untuk melawan kasus ini," kata ibu Chandralekha.
Putrinya, yang dulunya seorang siswa yang cemerlang, kini tinggal di rumah dalam ketakutan.
Petugas polisi setempat Monika Singh telah menjalankan misinya untuk melawan marjinalisasi melalui program penyuluhan di sekolah. Dia berbicara kepada murid laki-laki dan perempuan, menuntut perubahan pola pikir.
"Kita harus menanamkan dalam benak kita bahwa perempuan setara dengan laki-laki, dan mereka layak dihormati," katanya kepada sekelompok remaja laki-laki.
"Jika Anda tetap diam, pelaku akan merasa bahwa dia bisa berbuat semena-mena," kata dia, sembari mendesak keluarga korban untuk melaporkan pelecehan.
Meskipun peluang yang tipis, aktivis akar rumput bersikeras melawan budaya pemerkosaan.
Di berbagai kota di India, pertunjukan jalanan yang berfokus pada kekerasan seksual menantang kepercayaan patriarki yang sudah mengakar kuat. Pertunjukan tersebut menghadapkan penonton dengan kebenaran yang tidak mengenakkan.
"Ini adalah dunia laki-laki," kata seorang aktor selama pertunjukan. "Apa yang bisa kamu lakukan sendiri?" Suara seorang perempuan menjawab, "Aku akan berjuang untuk putriku, aku akan memberinya keadilan."
Para aktivis ini tahu perubahan tidak akan terjadi dalam semalam. Namun, setiap langkah kecil, termasuk setiap pertunjukan jalanan, membawa negara ini semakin dekat untuk memecah kesunyian tentang kekerasan seksual.
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris