Polda Metro Buka Posko Pengaduan Korban Klinik Kecantikan Ria Beauty

Polda Metro Buka Posko Pengaduan Korban Klinik Kecantikan Ria Beauty

JAKARTA, KOMPAS.com - Polda Metro Jaya membuka posko pengaduan untuk warga yang menjadi korban praktik klinik kecantikan Ria Beauty milik tersangka Ria Agustina (33).

Pasalnya, Kasubdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya Kompol Syarifah Chaira Sukma berujar, pihaknya belum menerima laporan resmi dari korban.

Penangkapan terhadap Ria dan asistennya berinisial DN (58) merupakan laporan tipe A atau yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui, atau menemukan langsung peristiwa tersebut. 

“Untuk jumlah korban, memang belum ada yang melaporkan secara resmi kepada kami. (Tetapi) kami membuka peluang untuk mereka melaporkan ke kami. Jadi, akan kami data,” kata Syarifah kepada wartawan, Senin (9/12/2024).

Warga yang merasa menjadi korban diminta datang ke Unit 1 Remaja Anak dan Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda Metro Jaya dengan membawa sejumlah administrasi.

“Seperti bukti pembayaran (saat menjadi konsumen Ria Beauty), kartu tanda penduduk (KTP), dan foto-foto (pendukung),” ungkap Syarifah.

Lebih lanjut, Syarifah menyebut, tarif yang dipatok Ria untuk treatment derma roller di klinik kecantikannya beragam.

“Yang di muka saja itu kita membayar Rp 15 juta per sekali treatment, minimal. Bayangkan kalau satu hari bisa dilakukan untuk 12 sampai 15, omzetnya itu bisa sampai Rp 200 jutaan,” pungkas dia.

Diberitakan sebelumnya, penyidik Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya menangkap pemilik klinik kecantikan Ria Beauty, Ria Agustina (33), dan karyawannya, DN (58), di kamar salah satu hotel wilayah Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (1/12/2024).

Ria dan DN ditangkap saat keduanya sedang memberikan layanan kecantikan terhadap tujuh pasien di kamar hotel 2028.

Tersangka diduga memproduksi atau mengedarkan barang farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar keamanan khasiat.

Mereka melangsungkan praktik klinik kecantikan sebagai seorang tenaga medis yang memiliki surat standar registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP), padahal tidak.

Keduanya diduga melanggar Pasal 435 jo Pasal 138 ayat (2) dan/atau ayat (3), serta/atau Pasal 439 jo Pasal 441 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Sumber