Polemik Harga Gas Murah (HGBT), Bos Krakatau Steel (KRAS) Usul Skema Baru
Bisnis.com, JAKARTA - PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. (KRAS) menilai perlunya skema baru dalam penerapan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) dalam rangka mengoptimalkan efek berganda dari pemanfaatan gas murah untuk industri tertentu.
Hal ini seiring dengan belum adanya kejelasan atas kelanjutan HGBT seharga US$6 per millions of british thermal units (MMBtu) yang berakhir 31 Desember 2024 lalu. Padahal, kepastian harga gas penting untuk meyakinkan mitra usaha akan ketetapan harga produk jangka panjang.
Direktur Utama KRAS Muhammad Akbar mengatakan, ada baiknya jika skema fixed price yang terjangkau dan bagi hasil diterapkan. Pihaknya mengakui akan lebih mengapresiasi skema tersebut yang dapat mendorong produktivitas dan efisiensi.
"Kami setuju dengan skema baru istilahnya dengan harga fixed yang terjangkau, dengan hasil produksinya itu bisa bagi hasil sehingga ini bicara produkitivtas," ujar Akbar saat berkunjung ke Kantor Bisnis Indonesia, Rabu (8/1/2025).
Adapun, bagi hasil dapat dilakukan dengan melalui profit share, EBITDA share, atau lainnya. Yang jelas, skema tersebut dapat lebih mendukung industri baja.
Kendati demikian, permalasahan utama yang dihadapi untuk kelanjutan HGBT yakni terkait dengan kekurangan pasokan atau defisit gas pipa, dikarenakan infrastruktur yang belum memadai.
"Kalau jadi semua pipeline itu butuh instalasi infrastrukturnya at least 3 tahun, pipa Cisem II, Dusem. Tapi harus ada solusi jangka pendek, harusnya sudah ada karena dampak ekonominya sangat besar, defisitnya nanti kalau misalnya naik, pabrik berhenti, kelar industrinya, tenaga kerjanya," jelasnya.
Di sisi lain, saat ini pihaknya tengah mendorong perpanjangan HGBT dengan harga US$6 per MMBtu. Dia bercerita, sebelumnya kawasan indsutri KRAS juga pernah mendapatkan harga gas kurang dari US$1 per MMBtu.
"Itu salah satu alasan kenapa kita menggunakan teknologi berbasis gas alam, makin ke sini alokasinya makin less prioritas untuk industri baja, dan harganya makin meningkat," tuturnya.
Keterjangkauan harga gas sangat signifikan dalam menekan ongkos produksi industri baja. Pasalnya, biaya energi memakan hampir 60%-70% dari hari pokok produksi (HPP).
Apabila industri baja tidak bisa mendapatkan perpanjangan HGBT, maka produk baja nasional disebut tidak akan kompetitif. Terlebih, sejumlah mitra KRAS di pabrik hulu sangat memperhatikan harga gas yang dikenakan pabrik.
"Beberapa mitra yang saat ini kita sedang kejar untuk reaktivasi pabrik hulu kita, yang pertama kali ditanyakan salah satunya, ‘berapa harga gas yang kamu dapatkan?’ Ketika kita menyampaikan, ‘kita mendapatkan harga US$6’, mereka tanya lagi ‘Sampai kapan harga US$ itu?" jelasnya.
Apalagi, jika harga gas tidak lagi menggunakan kebijakan HGBT, maka ongkos produksi baja diprediksi meningkat 20%-30% dari biaya produksi. Hal ini akan memengaruhi keberlangsungan industri.
Lebih lanjut, Akbar menuturkan, jika harga gas US$6 per MMBtu pun belum cukup ekonomis untuk digunakan pada fasilitas pabrik green steel. Jika dibandingkan dengan harga gas di Timur Tengah sebesar US$1 per MMbtu.
"Ini jadi satu challenge pemerintah. Seharusnya tidak dilihat dari harga yang naik tapi multiplier effect yang pemerintah kaji ulang, karena cycle ekonominya tumbuh, rantai pasok juga tumbuh yang jauh lebih signifikan daripada hanya naik di harga," pungkasnya.