Polemik Penertiban Pedagang di Jalan Merdeka Bogor: Antara Relokasi atau Urus Izin Resmi
BOGOR, KOMPAS.com - Polemik penertiban pedagang di Jalan Merdeka, Kecamatan Bogor Tengah, masih berlanjut meski Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor telah membongkar 43 kios pada Kamis (12/12/2024).
Pembongkaran dilakukan karena kios-kios tersebut berdiri tanpa izin dan dinilai memicu kemacetan serta kekumuhan.
Meski demikian, sejumlah pedagang tetap menolak untuk direlokasi ke pasar resmi dengan alasan lokasi baru dinilai kurang strategis dan sepi pengunjung.
Penjabat (Pj) Wali Kota Bogor, Hery Antasari menyatakan, kios-kios di Pasar Merdeka sebenarnya bukan pasar resmi, melainkan pusat perdagangan yang terbentuk secara spontan.
Oleh karena itu, ia mempersilakan pemilik lahan mengajukan izin resmi jika ingin menjadikan area tersebut sebagai pusat perdagangan yang tertata.
“Itu bukan pasar, itu pedagang yang berhimpun jadi semacam pusat perdagangan. Karena pemilik lahannya swasta, silakan ajukan perizinan agar menjadi legal,” ujar Hery, Kamis (12/12/2024).
Hery menegaskan, proses perizinan penting untuk memastikan pengelolaan infrastruktur seperti air, listrik, dan sampah berjalan baik serta meminimalkan risiko kebakaran. Dengan perizinan resmi, pengelolaan kawasan dinilai bisa lebih baik dan memberi kepastian hukum bagi pedagang.
Dengan pembongkaran ini, Pemkot Bogor menawarkan pedagang untuk direlokasi ke sejumlah pasar resmi milik pemerintah, salah satunya Pasar Mawar.
Namun, opsi ini ditolak oleh banyak pedagang yang menganggap Pasar Mawar tidak mendukung aktivitas perdagangan. Penolakan datang dari beberapa pedagang yang khawatir pendapatan mereka turun drastis jika pindah ke Pasar Mawar.
Husen (42), salah seorang pedagang menilai lokasi Pasar Mawar kurang strategis karena jarang dilalui pembeli.
“Lokasinya tidak strategis, jarang dilalui orang. Jadi para pembeli tidak tahu ada pasar di sana,” kata Husen.
Senada dengan Husen, Dito (31) mengaku telah mencoba berdagang di Pasar Mawar jauh sebelum pembongkaran. Namun, ia mengalami kerugian karena minimnya pembeli.
“Waktu kios mau dibongkar, saya disuruh pindah ke Pasar Mawar. Tetapi, setiap hari malah nombok, tidak ada untung sama sekali, malah rugi,” ungkap Dito.
Ada pula pedagang yang khawatir tak mampu membayar biaya sewa di pasar resmi seperti Pasar Anyar atau Pasar Bogor. Mereka menganggap, Jalan Merdeka lebih strategis karena dilalui banyak orang dan mendukung usaha mereka.
“Di sini itu jalur ramai, semua orang melintas. Kalau pindah ke Pasar Anyar atau Pasar Bogor, takut tidak bisa bayar uang sewa, lagian di sana sudah banyak pedagang,” ujar seorang pedagang yang enggan disebut namanya.
Menanggapi polemik ini, Hery Antasari menyatakan pemerintah akan tetap melakukan pendekatan persuasif bagi pedagang yang kembali berjualan di Jalan Merdeka.
Bagi yang memilih tetap di lokasi lama, ia menegaskan pengajuan izin resmi menjadi syarat mutlak.
“Yang mau direlokasi akan kita data dan salurkan ke pasar yang ada. Tapi kalau ingin tetap di situ, silakan saja asal ajukan izin,” kata Hery.
Sementara itu, Kepala Satpol PP Kota Bogor, Agustian Syach menegaskan, pembongkaran dilakukan demi penataan kota yang lebih baik.
“Keberadaan kios-kios ini menjadi sumber kekumuhan, kemacetan, dan pasar tumpah. Penertiban dilakukan dengan pendekatan persuasif dan humanis,” jelas Agustian.
Hingga saat ini, pemilik lahan di Jalan Merdeka belum mengajukan permohonan izin pembukaan kios. Sementara, pedagang yang masih berjualan di lokasi tersebut merasa belum memiliki kepastian.
Pemkot Bogor berharap pilihan relokasi atau pengurusan izin resmi dapat menjadi titik tengah antara kebutuhan pedagang dan upaya penataan kota yang lebih rapi dan teratur.
Dengan proses perizinan yang jelas, diharapkan kawasan Jalan Merdeka dapat berkembang menjadi pusat perdagangan yang legal, tertata, dan mendukung kenyamanan pedagang maupun masyarakat.