Polemik Pengembang dan Warga Cinere dengan Gugatan Rp 40 Miliar, Apa yang Terjadi?

Polemik Pengembang dan Warga Cinere dengan Gugatan Rp 40 Miliar, Apa yang Terjadi?

JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik antara pengembang perumahan berinisial M dan warga Blok A Perumahan CE di Cinere, Kota Depok, masih berlangsung.

Perselisihan ini terkait dengan pembangunan perumahan CGR yang telah dimulai sejak 2021, dan tampaknya melewati proses negosiasi yang alot.

Rencana M untuk membangun jembatan sebagai akses ke lahan miliknya menjadi titik awal perselisihan, yang bahkan berujung pada vonis sebesar Rp 40 miliar terhadap warga.

Masalah awalnya adalah M berniat membangun perumahan CGR seluas 1,6 hektar yang terbagi antara lahan di Perumahan CE (20 persen) dan lahan di Kelurahan Pangkalan Jati (80 persen).

Sebanyak 100 unit rumah akan dibangun di lahan tersebut.

Dalam rencana tersebut, M meminta izin untuk membangun jembatan di antara kedua lahan, dengan alasan bahwa akses jalan di Perumahan CE lebih memadai untuk alat berat.

Salah satu argumen yang disampaikan adalah lebar jalan yang hanya sekitar tiga meter. Dalam berkas gugatan, pembangunan itu untuk jalur alat berat.

Namun, warga Blok A Perumahan CE menolak rencana ini karena mereka berpendapat bahwa akses jalan di Pangkalan Jati sudah cukup untuk dilewati alat berat.

“Itu di Jalan Jati Indah mereka bisa kok bawa masuk alat berat, lebar jalannya enggak seperti yang disebutkan,” ucap Heru Sadiki, Ketua RW 06 Blok A Perumahan CE saat ditemui di lokasi, Jumat (20/12/2024).

Sebanyak 98 persen warga Blok A menolak pembangunan jembatan tersebut, serta mengkhawatirkan dampak terhadap keamanan dan kepadatan lalu lintas.

“Nah, ini yang kita takutkan saat buka akses. Ini bukan cuma soal keamanan juga, tapi soal (kepadatan) lalu lintas dan kemudian jumlah penduduk yang akan ada di situ dan sebagainya,” ungkap Heru.

KOMPAS.com/DINDA AULIA RAMADHANTY Lahan pembangunan perumahan CGR di Jalan Jati Indah, Pangkalan Jati, Kota Depok.

M mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Depok dengan mencantumkan nama 10 tergugat, yang terdiri dari Ketua RT, Ketua RW, hingga mantan Ketua RW di Blok A. 

Putusan awal PN Depok menolak gugatan M dan malah menghukum M untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 3.251.000 pada 15 Oktober 2024.

Namun, M mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung, yang membatalkan putusan PN Depok pada 5 Desember 2024. Banding itu diajukan pada awal November.

Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa para tergugat harus membayar ganti rugi sebesar Rp 40.849.382.721,50 karena 75 persen dari 100 unit rumah yang akan dibangun telah terjual.

Dalam berkas putusan tersebut, M mencantumkan bahwa penundaan proyek disebabkan oleh perselisihan ini telah mengakibatkan kerugian pembeli.

“Menghukum para Terbanding semula para tergugat untuk membayar ganti rugi kepada pembanding semula penggugat sebesar Rp 40.849.382.721,50,” kutip isi putusannya.

Meskipun terjadinya perselisihan, warga Blok A menyatakan bahwa mereka tidak pernah melarang pembangunan perumahan CGR.

Salah satu warga, Alfi menjelaskan, dirinya siap menyambut tetangga baru di lahan yang berjarak 20 menter dari rumahnya itu.

“Silakan bangun rumah, saya enggak pernah melarang. Saya hanya melarang pembangunan jembatannya,” katanya ditemui Kompas.com, Jumat.

Alfi percaya bahwa pembangunan perumahan dapat dilakukan tanpa jembatan yang akan mengubah ritme kehidupan di lingkungan mereka.

Apalagi, M menjanjikan one get system di perumahan itu, dengan tujuan agar akses jalan hanya akan dibuka dari Cinere atau tempat Alfi tinggal.

Ia yang tinggal sejak 1995 di sana, mengkhawatirkan jika jembatan dibangun, maka suasana asri dan aman di area tersebut akan hilang.

“Kalau mereka (penghuni lama) merasa tidak nyaman tinggal di sini setelah beberapa dari kita setuju dan akhirnya jembatan dibangun, kita yang zalim,” ujar Alfi.

Warga lainnya, Tari, juga menyuarakan keprihatinan yang sama, mengingat mayoritas tetangganya adalah pensiunan berusia 60 tahun ke atas.

Hal ini yang mendasari bagaimana warga saling gotong royong menjaga lingkungan Blok A yang sudah ada sejak 1976 itu.

“Kita sudah puluhan tahun susah payah menciptakan lingkungan yang kami perdayakan menggunakan uang sendiri. Dari perbaikan aspal berkala, security, hingga fasilitas perumahan,” jelas Tari.

Sebagai respons terhadap putusan Pengadilan Tinggi, warga berencana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

“Ya kita akan kasasi ke Mahkamah Agung. Mungkin minggu ini atau awal minggu depan kita akan sampaikan kasasi kita,” kata Heru.

Mereka berharap proses kasasi berjalan transparan dan hakim mempertimbangkan argumen dengan cermat.

Ketika mengunjungi lokasi pembangunan di Pangkalan Jati, terlihat bahwa lebar jalan mencapai sekitar 6-7 meter.

Meskipun jalan menuju lokasi terkesan sempit dengan deretan rumah yang menempel di kedua sisi, aktivitas pembangunan sudah terlihat.

Setelah menelusuri dari Jalan Rangu Raya hingga ke Jalan Jati Indah, terdapat beberapa tikungan yang mungkin dikhawatirkan sulit untuk dilalui alat berat.

Alat berat, seperti eskavator, sudah memasuki perumahan CGR, di sisi lahan Kelurahan Pangkalan Jati. 

Sejumlah kerangka bangunan juga mulai muncul.

Namun, di lahan Perumahan CE yang berukuran 20 persen, pepohonan dan hamparan rumput masih tertinggal. 

Perlu berjalan sekitar beberapa puluh meter hingga menemukan aliran Kali Grogol yang menjadi titik lokasi pembangunan jembatan.

Sumber