Polri: Kekerasan Seksual Tak Bisa Diselesaikan dengan Restorative Justice
JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Tindak Pidana terhadap Perempuan dan Anak (PPA) serta Pidana Perdagangan Orang (PPO) Polri, Brigjen Pol Desy Andriani, menegaskan bahwa kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice (keadilan restoratif).
Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers di auditorium gedung Bareskrim Polri, Jakarta, pada Jumat (13/12/2024).
Restorative justice adalah pendekatan penyelesaian tindak pidana yang lebih mengutamakan kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat.
Namun, Desy menjelaskan bahwa hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Kami menyadari pasca undang-undang TPKS itu, kita merespons cepat dengan mengirimkan (petunjuk dan arah) Jukrah kepada Bapak Kapolri yang ditandatangani bapak Kabareskrim Polri, salah satu pasal mengatakan tidak bisa diselesaikan di luar proses peradilan," ujarnya.
Desy menegaskan bahwa pasal tersebut tetap berlaku dan pihaknya berkomitmen untuk mengeksekusi pasal-pasal dalam undang-undang TPKS hingga berkas perkara masuk ke tingkat pengadilan.
"Jadi kalau tadi ada yang mengatakan bolak balik dan dicabut, itu kita sudah menggunakan pasal-pasal di undang-undang TPKS itu langsung berproses sampai tingkat (pengadilan)," jelasnya.
Lebih lanjut, Desy menekankan pentingnya penerapan prinsip "no excuse" dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Desy juga menyebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah melakukan kajian terkait implementasi undang-undang TPKS.
"Ini juga menjadi concern kita bersama. Kemarin kita dua hari yang lalu di LPSK memang sudah melakukan kajian juga," ungkapnya.
Desy menambahkan bahwa LPSK telah menginisiasi prosedur operasi standar untuk memastikan bahwa TPKS dapat diimplementasikan dengan baik dalam lingkup lembaga tersebut.
"Kalau ada terkait relasi kuasa karena kedudukannya, ini akan menjadi concern kita bersama," tutupnya.