[POPULER NASIONAL] Megawati Minta Prabowo Hitung Ulang Angaran Makan Bergizi Gratis | Pengguna Narkoba Tidak Dipidana dalam KUHP Baru
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diketahui menurunkan anggaran makan bergizi gratis dari Rp 15.000 per porsi menjadi Rp 10.000 per porsi.
Dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta pada 29 November 2024, Presiden Prabowo Subianto mengaku ingin menganggarkan Rp 15.000 per porsi untuk makan bergizi gratis.
Hanya saja, berdasarkan perhitungan pemerintah, anggaran Rp 10.000 per porsi dinilai sudah cukup.
"Kita ingin Rp 15.000 (per porsi), tapi kondisi anggaran mungkin Rp 10.000 kita hitung untuk daerah-daerah itu cukup, cukup bermutu dan bergizi," ujar Prabowo saat itu.
Sementara itu, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengatakan, biaya per porsi dari program makan bergizi gratis sebesar Rp 10 ribu hanyalah rata-rata.
Sebab, menurut dia, pemerintah bukan membeli paket makanan, melainkan bahan-bahan pangannya.
"Ya (biaya Rp 10 ribu itu) rata-rata. Kan Pak Presiden mengatakan rata-rata. Dan saya tekankan sekali lagi, kita tidak membeli paket makan, kita membeli, membayar bahan baku at cost. Paham kan?" ujar Dadan di Kompleks Istana, Jakarta pada 2 Desember 2024.
Dadan menjelaskan, angka Rp 10 ribu per porsi ditetapkan setelah pihaknya melakukan uji coba di Jawa selama 11 bulan terakhir.
Dalam acara peluncuran buku Pilpres 2024 Antara Hukum, Etika dan Pertimbangan Psikologis, Kamis (12/12/2024), Megawati Soekarnoputri menyampaikan dukungannya pada program makan bergizi gratis yang bakal dilaksanakan pemerintahan Presiden Prabowo.
Namun, Presiden ke-5 RI ini menyoroti anggaran program makan bergizi gratis yang angkanya hanya sebesar Rp 10.000 per porsi.
Menurut Megawati, anggaran Rp 10.000 per porsi tersebut tidak masuk akal bagi dirinya yang mengerti tentang memasak.
Terlebih lagi, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tersebut menyebut bahwa harga-harga bahan pokok di pasaran cenderung naik.
Oleh karena itu, Megawati meminta Presiden Prabowo untuk menghitung kembali anggaran makan bergizi gratis dengan menyesuaikan harga-harga bahan pokok.
“Ibu saya orang Sumatera, Bengkulu. Jadi tradisi putri pertama harus pintar masak. Alhamdulillah. Aku hitung, Rp 10.000 toh, ye apa toh. Sekarang harga-harga naik. Eh, Mas Bowo, dengerin nih tolong deh suruh dihitung lagi,” kata Megawati.
Dia lantas menegaskan bahwa kritiknya terhadap anggaran makan bergizi gratis ini bertujuan agar program tersebut bisa benar-benar terlaksana dengan baik dan dirasakan oleh masyarakat.
"Jadi ya gitu, sorry ya Mas (Prabowo) saya mesti kritik. Lah saya bener kok. Saya suruh ibu-ibu hitung, Rp 10.000 dapat opo to yo? Baru ibu-ibu bilang lha yo opo, paling tempe. Lha iya bener. Saya bisa masak kok," pungkasnya.
Berita selengkapnya bisa dibaca di sini.
Berita populer lainnya datang dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra.
Yusril mengatakan bahwa dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, pengguna narkotika harus direhabilitasi, bukan lagi dijatuhi hukuman pidana penjara.
“Ada perubahan dalam Undang-Undang Narkotika, di mana para korban pemakai tidak lagi dipidana, tapi harus direhabilitasi,” kata Yusril saat orasi ilmiah saat Wisuda Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Poltekip) dan Politeknik Imigrasi (Poltekim) sebagaimana diikutip secara daring dari Jakarta pada 11 Desember 2024.
Menurut dia, pengguna narkotika sejatinya dikategorikan sebagai korban sehingga perlu direhabilitasi dengan tetap dibina oleh negara.
Yusril pun berharap bahwa cara ini dapat mengurai permasalahan jumlah warga binaan di lembaga pemasyarakatan (LP) yang membeludak.
“Barangkali warga binaan akan berkurang secara drastis, tapi bukan berarti mereka ini bebas karena mereka tidak dipidana masuk LP, tapi mereka harus direhabilitasi,” ujarnya.
Namun, Yusril mengingatkan bahwa KUHP baru yang mulai dilaksanakan pada bulan Januari 2026 lebih mengutamakan prinsip keadilan restoratif.
Hal ini berarti pemidanaan di Indonesia tidak lagi berorientasi kepada aspek penghukuman semata.
“Tetapi lebih kepada keadilan restoratif, rehabilitatif, dan lain-lain sebagainya, yang dalam anggapan saya lebih dekat kepada the living law; kepada hukum yang hidup dalam masyarakat kita, yaitu hukum adat dan hukum Islam,” katanya.
Berita selengkpanya bisa dibaca di sini.