[POPULER NASIONAL] Serangan Balik Kubu Khofifah ke Risma di Sidang MK | Aturan ASN Jakarta Boleh Poligami Kontra Perjuangan Perempuan

[POPULER NASIONAL] Serangan Balik Kubu Khofifah ke Risma di Sidang MK | Aturan ASN Jakarta Boleh Poligami Kontra Perjuangan Perempuan

JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang sengketa perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 semakin menarik untuk disimak karena sudah memasuki tahap mendengarkan jawaban dari termohon dan pihak terkait.

Salah satu yang menarik disimak adalah sidang sengketa Pilkada Jawa Timur (Jatim) dengan pemohon pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur nomor urut 3, Tri Rismaharini-Gus Hans.

Setelah mendapat beragam tudingan dari kubu Risma-Gus Hans, kubu Khofifah-Emil Dardak mendapat giliran memberikan jawaban.

Kubu Khofifah-Emil Dardak yang diwakili kuasa hukum Edward Dewaruci tidak hanya membantah, tetapi juga menuding balik kubu Risma-Gus Hans dalam dalil pokok permohonan mereka.

Kubu petahana tersebut membantah soal adanya politisasi bantuan sosial (bansos). Mereka berkilah bahwa bansos tidak lagi bisa dikendalikan karena jabatan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur berakhir jauh sebelum proses pemilihan gubernur (pilgub) berlangsung, yakni pada Februari 2024.

Bantahan itu didukung oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Timur yang menyebut adanya surat edaran Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), di mana meminta agar bantuan sosial yang berasal dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dihentikan sementara hingga proses pilkada berlangsung untuk menghindari politisasi bansos.

Kubu Khofifah-Emil Dardak justru menuding balik bahwa orang yang bisa merencanakan politisasi bansos adalah Risma. Sebab, baru mengundurkan diri sebagai Menteri Sosial (Mensos) pada Agustus 2024.

"Jika pun menggunakan asumsi tuduhan dari pemohon, maka yang bisa menggunakan bansos untuk memengaruhi perolehan suara adalah Mensos periode 2020-2024 yang lalu (Risma)," kata Edward dalam sidang Jumat (17/1/2025).

Kemudian, Edward Dewaruci membantah tudingan kubu Risma-Gus Hans yang mendalilkan adanya kecurangan manipulasi Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilihan (Sirekap).

Selanjutnya, tudingan soal adanya "cawe-cawe" Presiden Ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) karena mengangkat Penjabat Gubernur Jawa Timur, Adhy Karyono, untuk mengamankan suara Khofifah-Emil Dardak, juga dibantah

"Tuduhan pelanggaran aparat oleh Presiden Jokowi, dalil pemohon tentang aparat yang dilakukan oleh mantan presiden Jokowi dengan melakukan panggilan telepon video untuk mengucapkan selamat kepada pihak terkait, hal itu sama sekali tidak beralasan hukum untuk dipersoalkan, apalagi dinyatakan terjadinya TSM," ujar Edward.

Menurut kubu Khofifah, Jokowi juga tidak bisa menggerakkan aparatur sipil negara karena sudah tidak menjabat lagi sebagai kepala negara.

Berita selengkapnya bisa dibaca di sini.

Berita populer selanjutnya datang dari polemik Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 yang diterbitkan pada 6 Januari 2025.

Pergub itu menjadi perbincangan dan dikritik karena mengatur mekanisme izin bagi aparatur sipil negara (ASN) di Jakarta, yang ingin memiliki lebih dari satu istri.

Salah satu kritik datang dari Politikus PDI-P dan Pemerhati Perempuan dan Anak, Diah Pitaloka.

Diah menilai kebijakan yang dibuat oleh Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi itu sangat sensitif dan bertentangan dengan perjuangan perempuan di Indonesia.

"Karena aturan tersebut bertentangan dengan semangat perjuangan perempuan Indonesia," ujar Diah dalam keterangannya pada Sabtu (18/1/2025).

Dia menambahkan, banyak perempuan yang merasa kebijakan ini akan menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Untuk itu, dia meminta agar kebijakan tersebut ditinjau ulang.

"Kebijakan ini harus ditinjau ulang karena tidak mencerminkan keberpihakan terhadap suara kaum perempuan Indonesia,” katanya menegaskan.

Diah juga mengingatkan tentang Kongres Perempuan Indonesia pertama yang diadakan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, yang melahirkan Hari Ibu sebagai bentuk perjuangan perempuan.

"Poligami diketengahkan dalam agenda kongres itu. Artinya, itu menjadi bagian dari suara yang sejak dulu disampaikan oleh kaum Ibu. Lagi pula, mana ada perempuan yang mau dimadu," ujarnya.

Lebih lanjut, Diah menyoroti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menegaskan bahwa Indonesia menganut asas perkawinan monogami.

Dia juga mengkritik pasal yang mengatur bahwa poligami harus mendapatkan persetujuan dari atasan.

"Wewenang tersebut sudah melampaui batas wilayah rumah tangga. Terlebih makin banyak aturannya seolah makin memotivasi PNS (pegawai negeri sipil) untuk melakukan poligami," katanya.

Untuk diketahui, dalam Pergub tersebut, ASN pria yang ingin berpoligami diwajibkan memperoleh izin dari pejabat yang berwenang sebelum melangsungkan pernikahan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat 1.

Jika seorang ASN melanggar aturan tersebut dan menikah tanpa izin, mereka akan dikenakan hukuman disiplin berat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, hukuman tersebut dapat disesuaikan berdasarkan hasil pemeriksaan, dengan mempertimbangkan dampak pelanggaran yang dilakukan.

ASN yang ingin berpoligami juga harus memenuhi beberapa persyaratan.

Berita selengkapnya bisa dibaca di sini.

Sumber