Poros Perlawanan Iran Runtuh dengan Tumbangnya Presiden Assad di Suriah
SELAMA sekitar 40 tahun tahun terakhir, Iran mengerahkan para ahli militer terbaiknya, dana miliaran dolar, dan persenjataan canggih untuk sebuah proyek besar, yaitu melawan kekuatan Amerika Serikat (AS) dan Israel di Timur Tengah melalui apa yang disebutnya sebagai “poros perlawanan”.
Aliansi itu, yang terdiri dari kelompok-kelompok bersenjata dan pemerintahan yang sepemahaman di lima negara Timur Tengah. Aliansi itu memungkinkan Iran memperluas pengaruhnya ke barat hingga ke Laut Tengah dan ke selatan hingga ke Laut Arab.
Namun dalam waktu sangat singkat, aliansi tersebut runtuh dan berantakan.
Kelompok para pemberontak Suriah menggulingkan diktator yang sudah lama berkuasa di negara itu, Bashar al-Assad, dalam waktu kurang dari dua minggu karena pasukan pemerintah tidak memberikan banyak perlawanan. Kelompok militer dan politik yang berbasis di Lebanon, Hizbullah, dan Hamas di Gaza-Palestina melemah akibat peperangan dengan Israel selama lebih dari satu tahun terakhir.
Milisi-milisi di Irak yang berafiliasi dengan Iran dan kelompok Houthi di Yaman memang masih utuh, tetapi mereka lebih bersifat periferal dalam konflik dengan Israel. Jadi, jika Iran berniat membangun kembali aliansi regionalnya, kemungkinan hal itu akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa kembali ke kekuatan sebelumnya.
“Perkembangan paling signifikan di kawasan itu adalah kekalahan strategis Iran,” kata Robert Ford, mantan duta besar AS untuk Suriah kepada The New York Times tentang kekalahan kolektif yang diderita para sekutu Iran itu. Ford juga peneliti senior di Middle East Institute, think tank yang berbasis di Washington.
Suriah di bawah kepemimpinan Assad sangat penting bagi aliansi itu karena menjadi koridor darat bagi Iran untuk memasok senjata dan material kepada Hizbullah di Lebanon. Israel berusaha untuk memutus jalur itu. Di sisi lain, Iran gigih mempertahankan jalur itu.
Dengan terjungkalnya Presiden Assad pada 8 Desember ini dan kepemimpinan masa depan Suriah yang belum pasti, serta ancaman yang terus berlanjut dari serangan bom Israel ke Lebanon, kecil kemungkinan Iran bisa mempertahankan jalur strategis tersebut.
“Iran menderita kekalahan strategis yang besar jika pemerintahan Assad digantikan oleh pemerintahan lain yang bersikap tidak kooperatif terhadap Hizbullah Lebanon, karena jalur darat mereka ke Lebanon akan terputus,” kata Ford pada Sabtu (7/10/2024), tepat sebelum ibu kota Suriah, Damaskus, jatuh ke tangan para pemberontak. “Ini merupakan pukulan besar bagi harapan Iran, jika masih ada, untuk membangun kembali Hizbullah secara perlahan dan bertahap.”
Iran sudah lama mendukung Presiden Assad. Negara itu memberinya dukungan militer untuk menahan lawan-lawannya selama perang saudara yang telah berlangsung selama 13 tahun. Namun para penasihat dan komandan pasukan Garda Revolusi Iran, yang sebagian besar juga pernah bekerja sama dengan Hizbullah, mulai meninggalkan Suriah pada 6 Desember.
Para analis mengatakan, Iran menyadari bahwa mereka tidak dapat lagi menawarkan solusi militer kepada Assad, terutama mengingat pasukannya sendiri tampaknya enggan berperang untuknya.
Para pemberontak Suriah memilih saat yang tepat untuk melancarkan serangan, yaitu saat sekutu Presiden Assad – Iran, Rusia, dan Hizbullah – kehabisan tenaga atau terganggu oleh konflik lain. Serangan para pemberontak dimulai pada 27 November, hanya beberapa hari setelah gencatan senjata dalam perang Israel-Hizbullah memaksa Hizbullah mundur dari perbatasan Lebanon dengan Israel.
Di beberapa bagian wilayah Lebanon, terdapat harapan bahwa Iran akan memberikan bantuan yang lebih kuat kepada Hizbullah selama perang dengan Israel.
Ketika Israel dan Iran saling melancarkan serangan pada April dan Oktober, Israel, yang didukung Amerika Serikat, menembak jatuh sebagian besar rudal Iran. Rudal-rudal yang mencapai Israel hanya menimbulkan sedikit kerusakan. Namun Israel mampu menembus pertahanan udara Iran dengan sedikit perlawanan.
Secara keseluruhan, peristiwa-peristiwa itu menunjukkan bahwa Iran memiliki kemampuan terbatas untuk mempertahankan diri dan sekutu-sekutunya. Hal itu meruntuhkan persepsi di kalangan para pendukung Teheran bahwa Iran tidak terkalahkan.
Iran kini tampaknya bersikap lebih lunak, setidaknya dalam isu Suriah. Kantor berita semi-resmi yang terkait dengan Garda Revolusi Iran, Tasnim, melaporkan bahwa Kementerian Luar Negeri Iran pada hari Minggu (8/12/2024) mengatakan, masa depan Suriah “sepenuhnya tanggung jawab” rakyatnya sendiri dan menyerukan dialog nasional untuk membentuk “pemerintahan yang inklusif”.
Runtuhnya aliansi Iran itu berlangsung cepat dalam beberapa bulan terakhir.
Hamas, yang sudah lama memerintah di Gaza, telah terpuruk akibat perang selama lebih dari satu tahun yang dipicu oleh serangannya pada 7 Oktober 2023 terhadap Israel. New York Times melaporkan, ada semakin banyak bukti bahwa kelompok itu kehilangan kendali atas setidaknya sebagian wilayah dan semakin tidak mampu memerintah.
Pada akhir Juli, Israel membunuh pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, saat dia sedang menginap di sebuah wisma di Teheran. Wisma itu dijaga ketat anggota Garda Revolusi Iran. Haniyeh berada di sana untuk menghadiri pelantikan presiden baru Iran.
Pada pertengahan September, Israel melumpuhkan komunikasi di antara para pemimpin dan komandan Hizbullah dengan meledakkan pager-pager dan walkie-talkie mereka.
Pada akhir September, Israel membunuh pemimpin Hizullah, Hassan Nasrallah, yang berperan besar sebagai ahli strategi militer dan politik dalam membentuk aliansi regional Iran.
Pada bulan Oktober, konflik Israel dengan Hizbullah meningkat pesat. Menurut sejumlah analis, pasukan Israel meledakkan sebagian besar jaringan terowongan dan bunker canggih kelompok itu di Lebanon selatan hanya dalam waktu enam minggu pertempuran sengit.
Menteri Pertahanan Israel memperkirakan sekitar 80 persen dari 150.000 misil dan roket milik Hezbollah telah dihancurkan. Para analis senjata menyatakan bahwa persenjataan tersebut merupakan salah satu yang terbesar di dunia yang dikuasai oleh kelompok bersenjata non-negara.
Melemahnya Hizbullah berdampak jauh melampaui Lebanon.
Kelompok itu telah mengirim para kombatan untuk membantu Assad selama perang saudara di Suriah dan membantu melatih kelompok lain yang didukung Iran, termasuk para kombatan Houthi di Yaman.
“Hizbullah dianggap sebagai kisah sukses Iran sejak tahun 2000 dan 2006,” kata Hanin Ghader, analis asal Lebanon yang sekarang bekerja di Washington Institute, merujuk pada perang kelompok itu sebelumnya dengan Israel kepada New York Times. Hizbullah tidak mengalami banyak kerusakan setelah konflik dengan Israel tahun 2006.
“Hassan Nasrallah membuktikan dirinya sebagai guru perlawanan Iran, dan mereka banyak berinvestasi padanya,” kata Ghader. Dia menambahkan, Hizbullah mendapat lebih banyak dukungan Iran ketimbang milisi Houthi atau kelompok milisi di Irak.
Menurut sejumlah diplomat dan analis, dampak lebih besar dari serangan Israel terhadap Hizbullah —yang tampaknya telah memaksa kelompok itu menarik banyak kombatannya dari Suriah— adalah melemahkan pertahanan Assad.
Suriah merupakan sekutu terdekat Iran di Timur Tengah. Assad bergantung pada para komandan dan unit-unit Iran di bawah kendali Garda Revolusi dan para kombatan Hizbullah – yang dukungannya membantunya bertahan dari perang saudara hingga akhir pekan lalu.
Namun selama beberapa tahun terakhir, ketika konflik di Suriah tampaknya terhenti, pasukan oposisi diam-diam mempersiapkan tantangan baru terhadap Assad. Ketika mereka memutuskan untuk menyerang lagi, rezim Assad ternyata tak lebih dari macan kertas.
Israel telah membantu dalam melemahkan cengkeraman pemerintah Suriah dengan melancarkan setidaknya 40 serangan udara ke negara itu sejak Oktober 2023. Israel menyasar para komandan Hizbullah dan Iran.
Selain bergantung pada pasukan Iran dan Hizbullah, pemerintahan Assad selama ini juga mengandalkan dukungan Rusia, terutama angkatan udaranya. Namun Moskow telah memindahkan sebagian besar kekuatan udaranya untuk perang di Ukraina.
Kekuatan militer Suriah sendiri ternyata sudah tidak punya keinginan untuk berperang lagi.
Menurut profesor ilmu politik di Universitas Teheran, Hassan Ahmadian, walau aliansi itu kini mengalami kerugian besar tetapi dalam pandangan Iran, selama bertahun-tahun, aliansi ini telah mencapai tujuannya. Menurut dia, Iran percaya bahwa aliansi itu bertindak sebagai penangkal terhadap Israel, bukan sebagai pertahanan yang tidak dapat ditembus.
Menurut dia, Iran selalu mengakui bahwa mereka berada dalam pertarungan asimetris dengan Israel, yang didukung senjata canggih AS dan dukungan politik Amerika yang kuat. Israel secara luas diyakini memiliki senjata nuklir, meski tidak pernah secara resmi mengonfirmasinya.
“Iran tidak memiliki keduanya. Namun strateginya adalah menyeimbangkan kemampuan tersebut – senjata nuklir dan dukungan AS – dengan aliansi kelompok bersenjata dan pemerintah yang memiliki pemikiran serupa,” kata Ahmadian sebagaimana dikutip New York Times.
Pengamat yang sudah lama mempelajari Iran memperingatkan agar tidak tergesa-gesa menganggap perkembangan itu sebagai kekalahan Iran.
“Jelas, Hizbullah telah sangat lemah dan Iran jelas muncul sebagai kekuatan yang lebih lemah dalam konfrontasi langsungnya dengan Israel,” kata Ryan Crocker, mantan duta besar AS untuk Lebanon, Suriah, dan Irak. “Tetapi tahukah Anda, keberhasilan taktis dan operasional tidak selalu berarti kemenangan strategis.”
Dia memperingatkan, Hizbullah belum sepenuhnya dikalahkan. Iran sepertinya belum akan mundur ke belakang garis perbatasannya sendiri.
“Saya tidak berpikir baik Iran maupun Hizbullah melihat diri mereka kalah di sini,” katanya. “Dan satu hal yang telah dibuktikan Iran adalah kemampuan mereka bermain dalam strategi jangka panjang.”