Potret Permukiman Petojo Binatu Jakpus, Tak Disinari Matahari, Dikepung Gedung Tinggi
JAKARTA, KOMPAS.com - Warga Kelurahan Petojo Binatu, Gambir, Jakarta Pusat, menjalani aktivitas mereka di rumah tanpa menikmati sinar matahari. Tepatnya di Jalan Petojo Binatu Gang 3.
Setidaknya ada sembilan rumah yang tak mendapat cukup cahaya matahari di lingkungan padat penduduk itu.
Masing-masing rumah ini bisa ditempati oleh beberapa kepala keluarga (KK). Ada yang isinya dua atau tiga KK. Yang terbanyak, ada satu rumah yang dihuni delapan KK.
Warga bernama Sri Mulyati (51) mengatakan, kondisi tempat tinggalnya memang sudah padat sejak dia lahir di Petojo. Meski bangunan di RT 11 ini ada yang dua lantai, warga yang tinggal di lantai satu dan dua bukan satu keluarga.
Sri tinggal di lantai dua. Namun, sehari-harinya, Sri menghabiskan waktunya di lantai satu yang merupakan tempat tinggal kakaknya.
Warga yang tinggal di lantai satu tidak kedapatan sinar matahari karena dua hal. Pertama, karena lokasi bangunan yang berdempetan.
Kedua, celah antarbangunan ini dipasangi genteng supaya warga di lantai satu tidak kehujanan.
“(Di sini area) rumah kumuh. Sekarang mah masih mending. Dulu mah, rumah dulu, masih bilik, sekarang mah masih mending sudah tembok. Sudah direnovasi,” ujar Sri saat ditemui di rumah keluarganya di Petojo Binatu, Jumat (6/12/2024).
Secara keseluruhan, kondisi rumah di RT 11 Petojo Binatu terbilang layak. Meski ada sebagian warga yang rumahnya dibangun di samping pinggir anak sungai dari Kali Krukut, kebanyakan rumah warga sudah terbuat dari beton.
Namun, beberapa masih terbuat dari seng dan kayu. Bahkan, mereka harus berbagi WC umum untuk mandi dan buang air.
Rumah Sri dan sejumlah keluarga lain lebih memprihatinkan karena hanya mereka yang rumahnya gelap dan lembap.
Terlebih, di seberang pemukiman warga atau di sekeliling SMP Negeri 39 Jakarta, berdiri kompleks perkantoran dan sejumlah gedung yang baru direnovasi.
Sementara, di kanan kiri pemukiman warga juga dikelilingi oleh perkantoran dan hotel bintang lima.
Dari jembatan yang menghubungkan Jalan Sekolah dengan Jalan Petojo Binatu Gang3, jalan masuk ke rumah Sri terletak di sebelah kanan.
Ketika hendak memasuki gang, sekitar lima sepeda untuk anak kecil terparkir di sebelah kanan.
Lebar gang itu sekitar satu meter. Semua yang mau keluar dan masuk harus bergantian karena gang ini tidak bisa dilewati dua orang sekaligus.
Area yang tidak dapat ditembus oleh sinar matahari hanya selebar kurang dari 20 meter. Namun, warga yang tinggal di area ini kebanyakan adalah anak bayi, balita, dan lansia.
“Habis melahirkan, ada lagi. Habis melahirkan, melendung (hamil) lagi,” canda Sri.
Rumah petak dua lantai yang ditempati Sri menjadi rumah bagi enam anggota keluarga. Meski tidak terbilang ramai, lebar rumah Sri paling besar hanya dua meter. Sementara, ke belakang sekitar 5-6 meter.
Ruang gerak Sri dan keluarganya semakin sempit karena perabotan di rumah. Di antaranya, lemari dan kulkas yang berukuran cukup besar untuk menyimpan sayur mayur.
Ditambah lagi, depan rumah Sri ditaruh beberapa etalase dan rak tempat menjajakan lauk pauk untuk warung nasinya.
Ketika ditemui Kompas.com, Sri dibantu dua keponakannya tengah sibuk membungkus makanan untuk nikahan kerabatnya.
Saat itu, ruang tamu Sri penuh dengan bakul nasi, dan tiga baskom, masing-masing berisi tempe orek, telor rebus masak cabai, dan ayam masak kecap.
Sementara, di bagian belakang ada satu kantong besar kerupuk udang yang perlu dikemas juga.
“(Depan dipasang genteng) kan semisal hujan kan biar kita enggak kehujanan, becek. Ada dagangan juga saya. Makanya saya bikin gitu (atap) biar enggak becek,” jelas ibu dua anak ini.
Sri menjelaskan, atap di depan rumah kakaknya ini sudah dua kali direnovasi. Pasalnya, tiang-tiang penyangganya sudah mulai rapuh dan rentan ambruk jika tidak rutin diperbaiki.
“Ini mah sudah saya benerin kalau enggak mah sudah ambruk itu. Dari sini ke sini mah sudah ambruk (area atap) kalau kesenggol tiangnya. Orang tiangnya dari tahun baheula,” lanjut Sri.
Setiap kali menerima tamu, warga yang berlalu lalang mau tidak mau menyenggol tamu Sri yang berdiri di depan pintu. Alhasil, tamu Sri harus melipir sedikit ke sisi gang agar warga bisa lewat.
Rumah Sri dan kakaknya sebenarnya berada di satu bangunan yang sama. Untuk naik ke lantai dua, Sri dan anggota keluarganya harus masuk dari tangga di dekat pinggir kali.
Sri mengatakan, di rumah kakaknya tidak ada tangga yang menghubungkan kedua lantai ini lagi.
Meski hidup di lokasi yang lembab dan gelap, Sri mengaku tidak punya banyak pilihan.
Mau pindah tempat lain, biayanya mahal. Jika pindah ke rusun, kakinya sudah tidak sanggup menaiki anak tangga.
“Ya dicukupkan. Habis (beli) rumah kan mahal, kontrak mahal, yang ada saja dimanfaatkan,” imbuh dia.
Sesekali, warga di RT 11 dan sekitarnya mendapatkan bantuan dari pemerintah maupun perusahaan yang tengah berbaik hati. Namun, Sri mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan itu.
Dia mengaku tidak mempermasalahkan meski jarang mendapat bantuan sembako atau semacamnya. Sri mengandalkan warung nasi kecilnya walaupun penghasilannya tak seberapa.
“Saya mah bantuan atau apa enggak dapat. Tapi, Alhamdulillah, dari dagang (ada) lah,” kata Sri.