PPN 12 Persen Bisa Dibatalkan Tanpa Revisi UU, Pemerintah Diminta Tak Bohongi Publik

PPN 12 Persen Bisa Dibatalkan Tanpa Revisi UU, Pemerintah Diminta Tak Bohongi Publik

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Kebijakan Publik CELIOS Media Wahyudi Askar mengatakan, pemerintah bisa membatalkan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) 12 persen tanpa harus mengubah Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP).

UU HPP yang diteken sejak era Presiden Joko Widodo itu sejatinya memang mengatur tarif PPN 12 persen mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Namun, UU itu juga masih membuka opsi perubahan tarif PPN yang diatur pada Pasal 7.

"Ada di UU HPP Bab 4 Pasal 7, itu diperbolehkan UU (pembatalan PPN). Jadi kalau mau dibatalkan ya tinggal disepakati saja," kata Askar saat dihubungi Kompas.com, Minggu (22/12/2024).

Dalam pasal 7 ayat (3), diatur bahwa tarif PPN dapat diubah paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.

Selanjutnya, dalam pasal 7 ayat (4) disebutkan bahwa perubahan tarif PPN diatur dengan peraturan pemerintah, setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan RAPBN.

Oleh karena itu, Askar mengatakan, tidak elok pemerintah tetap memberlakukan PPN 12 persen dengan alasan amanat dari aturan perundang-undangan.

Padahal, kata dia, UU HPP memberikan opsi pembatalan tarif PPN tersebut.

"Anggapan pemerintah bahwa itu amanat UU dan harus dijalankan adalah menyesatkan dan membohongi publik," ujarnya.

Lebih lanjut, Askar mengatakan, tarif PPN 12 persen adalah beban bagi masyarakat kecil. Ia juga mengatakan paket insentif yang disiapkan pemerintah adalah kewajiban.

"Pemerintah menebar penyakit. PPN itu jadi penyakit ekonomi untuk masyarakat kecil dalam kondisi hari ini. dan pemerintah kemudian bilang ada obatnya dengan paket insentif, ini enggak bener, untuk insentif, tanpa ada kenaikan PPN pun juga sudah jadi kewajiban pemerintah," ucap dia.

Wakil Ketua Komisi XI RI Dolfie AFP mengatakan pemerintah bisa menunda kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen tanpa mengubah undang-undang.

Ia mengatakan, undang-undang pajak memberi keleluasaan pada pemerintah untuk mengatur soal pajak dengan syarat berkonsultasi lebih dulu dengan DPR RI.

“Oh iya undang-undang pajaknya enggak perlu diubah. Karena di undang-undang itu sudah memberikan amanat ke pemerintah,” ujar Dolfie pada awak media di Gedung DPR RI, Rabu (21/11/2024). “Kalau mau turunin tarif boleh, tapi minta persetujuan DPR,” sambungnya.

Dolfie menyatakan, DPR sebenarnya pernah bertanya pada pemerintah apakah tetap bakal menaikkan PPN menjadi 12 persen di tahun 2025.

Namun, pihak pemerintah menjawab menunggu arahan dari presiden.

“Nah mungkin saat ini belum ada arahan terbaru dari Presiden terkait itu. Karena kalau itu diturunkan menjadi 11 persen saja misalnya, maka pemerintah kehilangan pendapatan Rp 50 triliun kira-kira,” paparnya.

Sebelumnya, Pemerintah telah menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, kebijakan ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan penerimaan negara guna mendukung stabilitas ekonomi nasional.

"Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dilakukan sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Langkah ini bertujuan menjaga keseimbangan fiskal di tengah tantangan ekonomi global," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (16/12/2024).

Menteri Keuangan menekankan bahwa kenaikan tarif PPN ini tidak berlaku untuk kebutuhan dasar masyarakat.

Barang pokok dan layanan esensial seperti kesehatan dan pendidikan umum tetap dibebaskan dari PPN atau dikenakan tarif lebih rendah.

"Penerimaan dari PPN 12 persen ini akan dialokasikan untuk mendukung program-program pembangunan pemerintah, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Dengan begitu, kebijakan ini diharapkan dapat berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat," kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani juga meminta masyarakat untuk memahami kebijakan ini dengan baik. "Kami mengimbau masyarakat untuk mengetahui barang dan jasa yang terdampak sehingga bisa mempersiapkan diri menghadapi perubahan," ujarnya.

Sumber