PPN 12 Persen, Warga: Ekonomi Masih Sulit Imbas Pandemi, Daya Beli Makin Tertekan

PPN 12 Persen, Warga: Ekonomi Masih Sulit Imbas Pandemi, Daya Beli Makin Tertekan

TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 dinilai makin membebani masyarakat.

Ayu (30), warga Lebak Bulus, Jakarta Selatan mengatakan, kondisi ekonominya dan keluarga masih sulit akibat pandemi Covid-19. Jika pajak naik, ia khawatir harga berbagai kebutuhan pokok, termasuk makanan, ikut melambung.

“Dengan kondisi ekonomi yang masih sulit setelah pandemi, kenaikan PPN ini justru semakin menekan daya beli kami. Terutama di sisi makanan, yang merupakan kebutuhan utama,” ujar Ayu kepada Kompas.com, Jumat (20/12/2024).

Dengan penghasilan sekitar Rp 6 juta per bulan, Ayu mengalokasikan sekitar 35 persen dari pendapatannya atau kurang lebih Rp 2 juta untuk kebutuhan makan dan minum.

Selain untuk diri sendiri, Ayu juga memiliki tanggungan untuk membiayai orangtua dan anaknya.

Karyawan swasta yang berkantor di Jakarta Selatan itu pun mulai membiasakan diri untuk memasak sendiri dan membawa bekal dari rumah demi menghemat pengeluaran.

"Sekarang udah mulai menahan diri buat enggak jajan makanan online ataupun makanan di luar. Saya lebih sering bawa bekal dari rumah," kata dia.

Oleh karena itu, Ayu berharap pemerintah mempertimbangkan kembali rencana menaikkan PPN 12 persen. Dia berharap, kebijakan pemerintah tidak membebani masyarakat.

“Bukan berarti kami tidak mendukung penerimaan negara, tapi kenaikan PPN di tengah pemulihan ekonomi ini sepertinya kurang bijak. Kami masih berjuang untuk bangkit,” kata dia.

“Pemerintah tolong dipikirin lagi ya kebijakannya. Masa yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya," ucap Ayu dengan jengkel.

Senada dengan Ayu, seorang pegawai swasta di Jakarta bernama Retsa (29) berencana menghemat pengeluaran dengan mengurangi jajan menyusul rencana pemerintah menaikkan PPN 12 persen.

Retsa yang suka sekali minum kopi, bahkan seminggu bisa membeli kopi hingga empat kali, mulai membiasakan membuat kopi sendiri di rumah.

"Kalau jajan kopi sekarang jadi mikir dua kali. Sebelum PPN naik saja harganya sudah mahal, bakal makin mahal. Jadi, saya mulai beli alat-alat buat bikin kopi di rumah dan cari biji kopi di pasar yang lebih murah," ujar Retsa.

Selain itu, untuk menghemat biaya makan, Retsa juga mulai rajin masak di rumah dengan bahan-bahan yang dibeli dari pasar tradisional. Menurutnya, harga di pasar lebih murah dibandingkan di supermarket.

Dengan demikian, dia bisa tetap mengatur pengeluaran tanpa melampaui anggaran bulanan.

"Saya memang suka masak sendiri, dan bahan-bahan di pasar itu lebih murah. Selain itu, kita bisa pilih kualitasnya," kata dia.

Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S. Lukman, mengungkapkan bahwa kenaikan PPN berpotensi meningkatkan harga makanan dan minuman.

"PPN ini kan berantai, karena ada margin masing-masing mata rantai sehingga akan akumulasi, ujung-ujungnya kalau saya perkirakan akan naik di tingkat konsumen itu sekitar 2-3 persen (kenaikan harga) akibat kenaikan PPN itu," kata Adhi saat dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (19/12/2024).

Adhi juga khawatir bahwa dampak dari kenaikan PPN ini dapat menyebabkan penurunan penjualan produk makanan dan minuman.

Meski belum dapat menghitung secara pasti, ia menekankan bahwa hal ini terjadi di tengah daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.

Sumber