PPN dan UMPK Naik, Gamma Pastikan Tak Ada PHK untuk Jangka Pendek

PPN dan UMPK Naik, Gamma Pastikan Tak Ada PHK untuk Jangka Pendek

Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Asosiasi Perusahaan Pengerjaan Logam dan Mesin (Gamma) Indonesia memastikan pelaku usaha industri tak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kala sentimen negatif melanda industri pengolahan, seperti kenaikan PPN 12% dan upah minimum naik 6,5% tahun depan. 

Ketua Umum Gamma Dadang Asikin mengatakan sementara waktu pelaku usaha tak melakukan penambahan pekerja sambil menunggu proyeksi permintaan di tahun mendatang terlihat ada perbaikan atau peningkatan kembali. 

"Sementara ini pelaku industri cenderung secara natural untuk berusaha sedapat mungkin tidak melakukan PHK," kata Dadang kepada Bisnis, dikutip Jumat (6/12/2024). 

Dia menuturkan, saat ini pelaku usaha manufaktur mengandalkan stok barang dan pesanan yang sudah ada. Pihaknya juga perlahan menambah produksi meskipun pesanan baru belum meningkat. 

Hal ini juga tercerminkan dari laporan S&P Global bahwa Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang masih kontraksi di level 49,6 pada November 2024, meskipun naik dari sebelumnya 49,2. Indeks yang paling tertekan yakni kinerja penjualan yang terus melemah. 

"Kondisi perhitungan ongkos dan produksi sedikit tergerus profit margin yang ditargetkan karena kontingensi risiko beberapa manufaktur sudah melakukan perhitungan cukup ketat," tuturnya. 

Di samping itu, pelaku usaha berupaya untuk meminimalisir efisiensi karyawan namun melakukan efisiensi di beban produksi lainnya. Hal ini dilakukan agar tidak menggerus daya beli industri, khususnya untuk permesinan. 

"Usaha menaikkan volume penjualan menjadi target utama ditengah persaingan harga yang ketat dengan produk impor dan kompetisi negara lain untuk produk-produk berorientasi ekspor," jelasnya. 

Kendati demikian, industri permesinan dan logam masih merasakan beratnya level playing field yang terjadi di market global dan dalam negeri lantaran penerapan aturan relaksasi barang impor. Namun, dia mengakui relaksasi impor bahan baku sangat dibutuhkan agar tidak mengganggu rantai pasok produksi permesinan dalam negeri. 

"Kita sih berharap ekosistem industri yang menghubungkan industri hilir dengan industri bahan baku terus diupayakan oleh pemerintah lewat clusterisasi industri di kawasan-kawasan industri baru sehingga akan menciptakan komponen biaya-biaya produksi yang lebih murah," jelasnya. 

Lebih lanjut, dengan tekanan industri manufaktur saat ini, Dadang meminta pemerintah sebaiknya melakukan evaluasi tentang rencana kenaikan PPN menjadi 12% karena akan memberikan tekanan yang berat kepada masyarakat luas dan industri. 

Kenaikan pajak tersebut mau tak mau membuat industri melakukan penyesuaian biaya produksi agar harga jual produk tetap kompetitif. Di sisi lain, daya beli masyarakat masih rendah menjadi tantangan dan makin menantang apabila kebijakan tersebut diberlakukan. 

Selain kebijakan yang mendukung industri, pelaku usaha juga mendorong pemerintah memberikan perlindungan lewat hambatan perdagangan atau trade measure. Saat ini, instrumen tersebut sangat minim diterapkan Indonesia. 

Berdasarkan catatan Kemenperin, Indonesia hanya memiliki 207 jenis instrumen hambatan untuk menahan laju impor masuk ke pasar domestik, sementara anggota WTO lain seperti China, dan Amerika Serikat masing-masing memiliki 1.569 dan 4.597 jenis instrumen trade measures. 

Bahkan di negara ASEAN, hambatan perdagangan Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan dengan Thailand, Filipina, dan Singapura yang memiliki instrumen trade measure masing-masing sebesar 661, 562, dan 216 jenis.

"Ini saja mengindikasikan barikade yang dibuat masih cukup longgar untuk di tembus. Lagi-lagi diperlukannya konsolidasi berapa kementerian/lembaga terkait untuk memperkuat posisi tawar industri dalam negeri," pungkasnya. 

Sumber