PPP Harap Dihapusnya Presidential Threshold Perbaiki Iklim Demokrasi

PPP Harap Dihapusnya Presidential Threshold Perbaiki Iklim Demokrasi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy (Rommy) berharap, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dapat memperbaiki iklim demokrasi yang sempat memburuk pada Pemilu 2024.

Dia pun mengapresiasi MK yang meniadakan presidential threshold.

"PPP berharap putusan ini akan memperbaiki iklim demokrasi kita yang sempat memburuk pada Pemilu 2024 lalu," ujar Rommy kepada Kompas.com, Jumat (3/1/2025).

Rommy mengatakan, putusan MK ini adalah terobosan demokrasi. Sebab, putusan tersebut dapat memberikan pilihan calon pemimpin yang semakin banyak untuk rakyat.

Lalu, Rommy menyinggung mengenai alasan historis putusan MK ini tepat.

"Satu, sejarah awal pencalonan presiden langsung di 2004, angka PT-nya 15 persen. Dengan angka itu, SBY juga tidak berkurang legitimasinya," katanya. 

"Dua, kenyataan bahwa sebagai republik dengan sistem presidensial, capres tidak dalam posisi perlu untuk mendapatkan dukungan awal yang terlalu besar. Praktis, tidak ada bedanya antara dukungan 15 persen, 20 persen, atau 25 persen," ucap Rommy.

Maka dari itu, Rommy berpandangan, proses konsolidasi untuk mendapat dukungan mayoritas DPR akan berjalan alamiah setelah presiden itu terpilih.

MK telah menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold.

Hal tersebut diputuskan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK, Suhartoyo, saat membacakan putusan.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” imbuhnya.

MK memutuskan menghapus presidential threshold karena aturan ini dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat.

Selain itu, aturan tersebut juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK.

Dalam putusannya, MK juga mempertimbangkan pemilihan presiden (pilpres) yang berjalan selama ini didominasi partai peserta pemilu tertentu.

MK berpandangan, hal tersebut berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih untuk mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Jika presidential threshold terus dipertahankan, MK khawatir muncul kecenderungan pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon.

Selain itu, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi atau terbelah karena hanya ada dua pasangan calon yang maju pilpres.

Ada juga kemungkinan pilpres diikuti oleh calon tunggal, seperti pemilihan kepala daerah (pilkada).

Hal tersebut berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat dan menyediakan banyaknya pilihan capres dan cawapres.

Sumber