Prabowo dan Harapan Terwujudnya Pemerintahan Baik dan Bersih
ANALOGI ikan busuk berawal dari kepalanya kembali ditegaskan Presiden Prabowo Subianto saat menyampaikan pengarahan terkait “antikorupsi” di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah (Kompas.com, 25/10/2024).
Bahkan, Prabowo tak segan meminta para jajarannya untuk mundur apabila tidak memiliki visi dan misi antikorupsi yang sama.
Penekanan Prabowo menyangkut nilai antikorupsi yang diulang dalam berbagai kesempatan itu, secara simbolik hendak memberikan pesan moral penting.
Kedalam, khususnya kepada para penyelenggara negara dalam posisinya sebagai abdi rakyat, agar tidak menyalahgunakan jabatan (abuse of power) yang telah diamanahkan.
Untuk menjaga wibawa pemerintah dan kepercayaan publik, kuncinya adalah memegang teguh integritas.
Sementara keluar, terutama kepada publik, penekanan sikap antikorupsi ini sebagai bentuk “komitmen politik” Prabowo dalam menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government).
Sebagai seorang Presiden yang lahir dari garis keturunan dengan menyandang nama besar, Prabowo seolah ingin menjaga martabat dan kehormatan keluarga besarnya.
Kakeknya, Margono Djojohadikusumo, adalah seorang ekonom dan Direktur Bank Indonesia pertama. Sementara ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, adalah seorang intelektual, ekonom, sekaligus politisi yang dikenal integritas dan rekam jejak prestasinya.
Boleh jadi, penekanan soal antikorupsi yang ditegaskan berulang itu, adalah bentuk kesungguhan Prabowo untuk melanjutkan legasi yang telah diwariskan oleh kakek dan ayahnya.
Untuk memastikan pemerintahan yang dipimpin berhasil, Ia tak segan mewanti-wanti jajaran kabinetnya untuk menjaga integritas dan mengedepankan prestasi.
Bagi Prabowo, integritas dan kapabilitas adalah syarat mutlak untuk membangun kejayaan Indonesia kedepan. Ibarat dua sisi mata uang, antara kapabilitas dan integritas itu saling melekat, tak bisa dipisahkan.
Karena itu, apabila kelak ada jajaran Kabinet Merah Putih yang performanya tak sanggup memenuhi kedua kriteria itu, sebaiknya mundur saja.
Narasi antikorupsi yang digaungkan Prabowo dalam posisinya sebagai Presiden, terasa menjadi “oase” di tengah wajah politik kekuasaan kita yang dijejali praktik lancung.
Realitas memilukan ini, oleh mendiang Buya Syafii Maarif, disebabkan karena penyelenggara negara di semua cabang kekuasaan dibiarkan berkubang dengan cacat mental dan cacat kelakuan.
Sudah tak terbilang jumlah penyelenggara negara yang terjerat skandal politik tercela, entah itu korupsi ataupun perilaku asusila.
Baru-baru ini, misalnya, Kejaksaan Agung menangkap Zarof Ricar, bekas pejabat Mahkamah Agung, sebagai makelar kasus untuk mengurus kasasi perkara pidana Gregorius Ronald Tanur.
Saat digeledah, penyidik Kejaksaan menyita uang Rp 920 miliar dan emas batangan sebanyak 51 kg (Kompas.com, 26/10/2024).
Perilaku koruptif, merujuk tesis “Rittel dan Weber (1984)”, adalah bentuk paling nyata dari politik tercela (wicked politics). Pasalnya, perilaku lancung ini memperlihatkan tindakan yang secara prinsip moral bersifat buruk dan tidak etis.
Akibat mentalitas koruptif ini, oleh Azyumardi Azra, terbukti menjadi sumber dari banyak masalah di lembaga publik, yang pada gilirannya mengakibatkan kegagalan politik.
Agar narasi antikorupsi tidak terkesan sebatas retorika politik semata, Prabowo perlu mengambil kebijakan tegas dan terukur untuk memastikan tata kelola pemerintahan berjalan baik dan bersih.
Ini penting, mengingat tata kelola pemerintahan yang sepenuhnya diorientasikan pada keutamaan publik (bonum publicum), hanya bisa berjalan efektif manakala ditopang oleh para penyelenggara negara yang memiliki watak dan integritas moral yang baik.
Karena itu, mumpung jajaran kabinet baru saja terbentuk, perlu ditekankan kebijakan yang mendukung agenda pemberantasan korupsi.
Pertama, sebagai Presiden yang memilki hak prerogatif, apabila kelak ada anggota kabinet yang diduga terlibat skandal korupsi ataupun perilaku tercela, Prabowo perlu secepatnya melakukan reshuffle.
Selain untuk menghindari beban bagi pemerintahannya, kebijakan ini untuk menunjukkan kesungguhan dalam menjaga tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.
Kedua, menginstruksikan kepada semua kementerian dan lembaga untuk membuka partisipasi publik secara luas (meaningful participation) terhadap program yang dicanangkan. Termasuk kebijakan monitoring dan evaluasi atas program yang telah berjalan.
Ini penting, selain agar program itu tepat sasaran dan bermanfaat bagi publik, juga memastikan prinsip transparansi terjaga.
Ketiga, memberikan peringatan keras kepada jajaran kabinet yang melakukan tindakan pribadi yang berpotensi pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), serta kebijakan yang meresahkan dan melukai rasa keadilan publik.
Seperti kasus yang melibatkan Yandri Susanto, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Politikus PAN ini menggunakan kop dan stempel kementerian untuk undangan haul ibunya.
Kemudian, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai yang meminta alokasi anggaran mencapai Rp 20 triliun. Permintaan anggaran fantastis ini, tentu saja tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi negara dan rakyat yang tengah kesusahan.
Apabila kelak tindakan blunder seperti itu terulang, maka sebagai Presiden, Prabowo mesti segera “mencopot” anggota kabinet tersebut. Wallahu,alam.