Prabowo is Prabowo
KALIMAT ini sangat sesuai untuk menggambarkan kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk seratus hari pertama atau lima tahun ke depan.
Prabowo memiliki gaya kepemimpinan sendiri yang khas. Di satu sisi, hal ini akan dapat membawa perubahan di Indonesia. Namun di sisi lain, dapat menimbulkan ketidakpastian politik dan pemerintahan.
Beberapa gaya khas kepemimpinan Prabowo dapat dilihat sejak awal pembentukan kabinet yang totalnya berjumlah 108 orang, terdiri dari 7 menteri koordinator, 41 menteri, 55 wakil menteri dan 5 pejabat setingkat menteri.
Kalangan akademisi menyoroti tajam kabinet gemuk yang secara teori, membuat pemerintah lamban, sulit koordinasi dan membebani anggaran.
Namun, di sisi lain, publik berharap kabinet ini justru mampu bergerak lebih cepat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi.
Toh, upaya membatasi menteri di angka 36 telah lama dikhianati dengan pengangkatan para wakil menteri sejak kabinet Susilo Bambang Yudhoyono.
Kedua, pertanyaan lain yang muncul dalam kabinet Prabowo adalah posisi sipil-militer. Prabowo tampaknya tidak terlalu mengacuhkan pemisahan posisi sipil-militer yang diterapkan sejak Reformasi sebagai upaya menghapus Dwi Fungsi ABRI.
Prabowo, misalnya, menunjuk Mayor Teddy, mantan ajudannya sebagai Sekretaris Kabinet, posisi setara menteri yang diisi oleh perwira menengah. Sebelumnya, pejabat setingkat menteri diisi oleh politisi dan bukan personel militer aktif.
Terdapat dua konteks fungsi presiden dalam sistem presidensial. Sebagai head of state yang diampu oleh Menteri Sekretaris Negara, dan Chief of the Government yang dipegang oleh Menteri Sekretaris Kabinet.
Kedua fungsi ini menjadi rancu karena dilebur dan menjadi bagian dari Sekretaris Negara, sementara Sekretaris Kabinet lebih banyak berfungsi melayani kepentingan pribadi presiden.
Ketiga, gaya kepemimpinan khas Prabowo tertuang dalam dua kebijakan terakhir sebagai komitmen janji kampanyenya, yaitu meningkatkan pendapatan guru dan upah minimum 2025 yang naik 6,5 persen.
Mekanisme bagi kedua hal yang diumumkan langsung presiden tersebut belum terlalu jelas.
Pada pengumuman upah, misalnya, rekomendasi awal adalah 6 persen, Prabowo berinisiatif menaikkan menjadi 6,5 persen.
Persoalannya, kaum buruh dan pengusaha tidak hanya membutuhkan besaran kenaikan, tetapi juga formulasi kenaikan kebijakan tersebut. Formulasi ini penting sebagai pedoman untuk proyeksi tahun berikutnya dan menjamin kepastian usaha dan kepastian upah buruh.
Bagaimana gaya leadership ”Prabowo is Prabowo” berpengaruh terhadap konteks politik dan pemerintahan di Indonesia?
Seperti sudah disinggung di tulisan di atas, gaya kepemimpinan tersebut bisa menciptakan peluang sekaligus tantangan.
Bagi pendukung pemerintahan, gaya Prabowo dianggap sebagai terobosan berbagai persoalan bangsa yang selama ini terjadi.
Indonesia membutuhkan gaya kepemimpinan yang tidak biasa karena gaya kepemimpinan tradisional terbukti tidak bisa secara cepat menyelesaikan persoalan.
Model diplomasi Prabowo yang bertemu pemimpin China dan Amerika dalam satu tarikan napas menunjukkan semangat yang tidak biasa ini.
Prabowo mampu memaksimalkan kemampuan retoris berbahasa Inggrisnya untuk melakukan diplomasi dan penawaran investasi, sesuatu yang tidak dimiliki presiden-presiden sebelumnya.
Pelibatan personel militer dalam pemerintahan sipil juga menjadi sorotan. Apakah presiden sebagai pimpinan tertinggi otoritas sipil dan militer, hanya boleh menggunakan ASN untuk membantu pemerintahannya?
Selama ini, ASN dapat ditugaskan sementara di luar fungsi utamanya. Namun, untuk pelibatan militer mengacu ke UU TNI yang lebih ketat.
Bagaimana President’s political appointee seharusnya dilakukan? Hal ini masih menjadi kajian diskusi yang menarik.
Pada puncak kekuasaan Orde Baru di 1981 sebagaimana ditulis Emerson (1983), pimpinan puncak birokrasi di posisi direktorat jenderal diisi militer, misalnya, di Kementerian Pertahanan (100 persen) dan Kementerian Dalam Negeri (89 persen).
Tujuh kementerian lainnya memiliki lebih dari 50 persen, enam kementerian antara 30-50 persen, hanya ada dua kementerian pekerjaan umum (12 persen) dan energi-tambang (14 persen) yang tidak didominasi militer.
Pandemi Covid-19 menunjukkan betapa otoritas pemerintahan sipil tercerai-berai menghadapi pandemi.
Struktur pemerintahan yang berbeda afiliasi politik antara eksekutif dan legislatif di daerah membuat proses koordinasi mengalami banyak tantangan.
Provinsi atau kabupaten/kota yang memiliki afiliasi politik sama dengan presiden, mematuhi aturan pusat, sementara kubu oposisi lebih banyak menolak.
Hal ini karena mereka tetap harus menjaga kepercayaan konstituennya. Padahal, dibutuhkan kerja sama pemerintahan untuk situasi darurat.
Oleh karena itu, upaya sinkronisasi politik pusat-daerah coba dilakukan melalui koalisi yang segaris dengan koalisi di pemerintah pusat seperti yang kita lihat di Pilkada yang baru usai.
Harapannya, pemerintahan sipil di daerah bisa menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat. Tentu saja, jika menang.
Cara lain yang tidak lazim untuk memastikan program presiden berjalan adalah dengan memanfaatkan militer, institusi yang paling dipahami Prabowo.
Program makan bergizi gratis tidak melalui Kementerian Kesehatan, Pendidikan atau Sosial, tetapi menggunakan Kodim-Kodim sebagai dapur percontohan dan pelatihan.
Cara-cara tidak lazim ini menuai kritik sekaligus apresiasi. Pastinya, masyarakat tetap menanti apakah terobosan politik dan pemerintahan ini akan menghasilkan pemerintahan yang efektif, atau justru mengembalikan otoritarianisme Orde Baru? Kita tunggu saja.