Prancis dan Jerman Terancam Lumpuh oleh Krisis Anggaran
Kanselir Olaf Scholz dan Perdana Menteri Perancis Michel Barnier punya masalah serupa. Kedua kepala pemerintahan itu harus memerintah tanpa anggaran belanja. Tanpa dukungan mayoritas fraksi di parlemen, rancangan belanja pemerintah di kedua negara tidak dikabulkan.
Anggaran belanja negara pada dasarnya adalah program pemerintah dalam bentuk angka. Tapi justru di tengah Perang Ukraina serta kemenangan Donald Trump di AS, kedua negara terkaya di Uni Eropa justru ibarat kehabisan bahan bakar.
PM Barnier masih dapat mengharapkan anggaran reguler pada tahun 2025, meskipun kalah pemilu. Tapi hal ini tidak lagi berlaku bagi pemerintahan minoritas yang masih berkuasa di Berlin. Paling banter, anggaran tambahan untuk tahun 2024 dapat diputuskan dengan dukungan oposisi sebelum parlemen Jerman Bundestag dibubarkan.
Hal ini menjadi genting karena pemerintahan Scholz kekurangan uang tahun ini, terutama untuk membiayai pengeluaran tambahan sebesar 3,7 miliar euro dana bantuan sosial, dan lebih dari 10 miliar euro dana stimulus untuk mempromosikan energi terbarukan. Pemerintah harus menemukan sumber pendapatan baru sebelum akhir tahun ini atau terpaksa membekukan anggaran.
Pada saat Donald Trump dilantik di Gedung Putih untuk kedua kalinya pada 20 Januari mendatang, Bundestag kemungkinan besar akan dibubarkan. Hampir lima minggu kemudian, pada tanggal 23 Februari, Jerman dijadwalkan untuk memilih parlemen baru. Tergantung pada hasil pemilu, pembentukan pemerintahan bisa tertunda hingga musim semi.
Konstitusi Jerman menjamin jalannya pemerintahan setelah pembubaran Parlemen. Artinya, kanselir dan menteri masih akan menjabat, meski hanya untuk menjalankan fungsi dasar pemerintahan, tanpa mandat untuk mengambil keputusan besar.
Pemerintahan baru Jerman kelak harus bernegosiasi dengan Donald Trump atau menggalang konsensus di Uni Eropa. Selama ini, pemerintahan koalisi Partai Sosial Demokrat, SPD, Partai Liberal Demokrat, FDP, dan Partai Hijau dikenal sebagai mitra sulit, karena acap bersilang ideologi di dalam kabinet. Perselisihan di tubuh koalisi di Berlin berdampak pada UE , karena acap memberikan suara abstain lantaran gagal menyepakati sikap, seperti dua pemungutan suara pada Undang-Undang Rantai Pasokan UE dan peraturan emisi untuk truk.
Di Prancis, koalisi bentukan Perdana Menteri Michel Barnier dari partai konservatif Les Republicains dan Presiden Emmanuel Macron juga tidak memiliki dukungan mayoritas di Majelis Nasional.
Bukan itu saja, partai-partai koalisi dikabarkan sibuk bertengkar, dan belum pula mampu menyepakati program pemerintah, meski sudah dua bulan menjabat.
Ironisnya, penolakan terhadap rancangan anggaran tahun 2025 di Majelis Nasional dapat membantu Perdana Menteri. Karena artinya, naskah yang akan diusulkan ke majelis kedua parlemen bukan rancangan anggaran yang sudah diubah, melainkan rancangan asli pemerintah.
Pasalnya, pemotongan tunjangan sosial dan administrasi publik yang menjamin total penghematan sebesar 60 miliar euro untuk tahun 2025, kemungkinan akan lebih mudah dilakukan di Senat yang didominasi kubu konservatif dibandingkan di Majelis Nasional.
Penghematan bersifat mutlak, karena Prancis memiliki beban utang yang tinggi. Pada bulan Juni, Komisi UE memulai proses terhadap Perancis, sementara lembaga pemeringkat keuangan juga mulai mengawasi Prancis. Dengan defisit enam persen PDB tahun ini dan tumpukan utang sebesar 113 persen PDB, situasi fiskal di Paris tergolong dramatis.
Tak lama setelah Kanselir Olaf Scholz meminta mosi percaya di Bundestag pada 16 Desember mendatang, nasib rekannya dari Prancis juga akan ditentukan. Berdasarkan jadwal saat ini, anggaran Perancis tahun 2025 dijadwalkan akan diserahkan kepada komite konsiliasi kedua kamar parlemen pada minggu terakhir sebelum Natal. Majelis Nasional kemudian harus membuat keputusan akhir.
Sangat mungkin bahwa pemerintah Perancis akan menggunakan pasal khusus untuk meloloskan anggaran tanpa pemungutan suara akhir. Jika pemerintah mengandalkan Pasal 49.3, oposisi punya waktu 24 jam untuk mengajukan mosi tidak percaya. Jika dia mendapat suara mayoritas, pemerintah harus mengundurkan diri dan usulan anggaran akan gagal.
Jika skenario ini terjadi, dua negara dengan perekonomian terbesar di Uni Eropa akan lumpuh secara politik, di tengah eskalasi perang di Ukraina dan pemerintahan Donald Trump yang skeptis terhadap Eropa.
Di kedua negara, pengelolaan anggaran ini terbatas pada kewajiban yang ditetapkan secara hukum dan sudah ada, serta hanya dimaksudkan untuk menjamin fungsi dasar negara. Gaji, pensiun dan tunjangan sosial tetap dibiayai, namun proyek-proyek politik akan tertunda.
Kanselir Olaf Scholz dan rekannya dari Prancis Michel Barnier akan bertemu di Kantor Kanselir di Berlin minggu depan. Tidak ada yang tahu, apakah pertemuan pertama di Jerman itu akan menjadi awal perjumpaan atau malah perpisahan.
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Jerman