Prancis Terancam Krisis Politik, PM Hadapi Mosi Tidak Percaya
Para anggota parlemen Prancis meloloskan mosi tidak percaya terhadap pemerintah pada hari Rabu (04/12), sebuah tindakan yang membuat negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di Uni Eropa (UE) itu makin terpuruk ke dalam krisis yang mengancam kemampuan legislatifnya untuk mengatasi defisit anggaran besar.
Anggota parlemen dari kelompok sayap kanan dan sayap kiri bersatu mendukung mosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri (PM) Michel Barnier, dengan mayoritas 331 suara mendukung mosi tersebut.
Barnier kini harus mengajukan pengunduran dirinya dan pemerintahannya kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron, menjadikan masa jabatan pemerintahan minoritasnya selama tiga bulan itu sebagai yang terpendek dalam sejarah Republik Kelima Prancis yang dimulai pada tahun 1958.
Media Prancis melaporkan, Barnier akan menyerahkan pengunduran dirinya pada hari Kamis (05/12) pagi waktu setempat.
Kubu sayap kiri dan sayap kanan mengecam Barnier karena menggunakan kekuasaan konstitusional khusus untuk mengadopsi sebagian anggaran yang tidak populer tanpa pemungutan suara akhir di parlemen, di mana anggaran itu tidak mendapat dukungan mayoritas. Rancangan anggaran tersebut bertujuan menghemat sebesar €60 miliar (sekitar Rp1 kuadriliun) untuk mengurangi defisit besar.
"Realitas (defisit) ini tidak akan hilang hanya dengan mosi tidak percaya," kata Barnier kepada anggota parlemen sebelum pemungutan suara, seraya menambahkan bahwa defisit anggaran akan terus menjadi beban bagi pemerintahan berikutnya.
Tidak ada pemerintahan Prancis yang kalah dalam mosi tidak percaya sejak Georges Pompidou pada tahun 1962. Macron mengawali krisis ini dengan mengadakan pemilu dadakan pada bulan Juni lalu, yang membuat parlemen terpolarisasi.
Dengan presiden yang kekuasaannya melemah, Prancis kini berisiko mengakhiri tahun 2024 tanpa pemerintahan yang stabil atau pun anggaran 2025, meskipun konstitusi memungkinkan langkah-langkah khusus untuk menghindari penutupan pemerintahan seperti yang terjadi di Amerika Serikat (AS).
Kekacauan politik Prancis juga semakin melemahkan UE yang sudah terguncang akibat runtuhnya pemerintahan koalisi Jerman, beberapa pekan sebelum Presiden Terpilih AS Donald Trump kembali ke Gedung Putih.
Menteri Pertahanan (Menhan) Prancis yang akan segera meninggalkan jabatannya, Sebastien Lecornu, memperingatkan bahwa gejolak ini dapat memengaruhi dukungan bantuan Prancis untuk Ukraina.
Bahkan, Partai sayap kiri France Unbowed (LFI) menuntut pengunduran diri Macron.
Jatuhnya karier politik Barnier ini justru disambut baik oleh pemimpin sayap kanan Marine Le Pen, yang selama bertahun-tahun telah mencoba menggambarkan partainya, National Rally, sebagai calon pemerintahan yang siap memimpin.
"Saya tidak mendesak Macron untuk mengundurkan diri," katanya. "Tekanan terhadap presiden akan semakin besar. Hanya dia yang bisa mengambil keputusan itu."
Prancis kini menghadapi masa ketidakpastian politik mendalam, yang sudah membuat investor di obligasi dan saham negara itu gelisah. Awal pekan ini, biaya pinjaman Prancis sempat melampaui Yunani, yang biasanya dianggap jauh lebih berisiko.
Macron kini harus membuat pilihan. Istana Elysee mengatakan, presiden dijadwalkan akan berbicara kepada rakyat Prancis pada hari Kamis (05/12) malam waktu setempat.
Tiga sumber mengatakan kepada Reuters bahwa Macron ingin segera menunjuk perdana menteri baru, dengan salah satu sumber menyebut, ia ingin melakukannya sebelum upacara pembukaan kembalinya Katedral Notre-Dame pada hari Sabtu (07/12), yang rencananya akan dihadiri oleh Trump.
Perdana menteri baru akan menghadapi tantangan yang sama seperti Barnier dalam mengesahkan rancangan undang-undang, termasuk anggaran 2025, yang perlu diadopsi oleh parlemen yang terpecah-belah. Tidak akan ada pemilu parlemen baru sebelum bulan Juli.
Sebagai alternatif, Macron dapat meminta Barnier dan para menterinya untuk tetap menjabat sebagai pemerintahan sementara, selagi ia mencari waktu untuk menunjuk PM yang mampu menarik dukungan lintas partai untuk mengesahkan undang-undang.
Pemerintah sementara juga dapat mengusulkan undang-undang darurat untuk melanjutkan ketentuan pajak dan pengeluaran dalam anggaran 2024 ke tahun depan, atau menggunakan kekuasaan khusus untuk mengesahkan rancangan anggaran 2025 melalui dekrit, meskipun para ahli hukum mengatakan langkah ini adalah area abu-abu secara hukum dan biaya politiknya akan sangat besar.
Gejolak ini bukan tanpa risiko bagi Le Pen. Sekutu Macron mencoba menggambarkannya sebagai agen kekacauan, setelah partainya bergabung dengan kelompok sayap kiri untuk menjatuhkan Barnier.
"Rakyat Prancis akan menilai keras keputusan yang akan Anda ambil," kata Laurent Wauquiez, seorang anggota parlemen dari partai konservatif Les Republicains yang mendukung Macron, kepada Le Pen di parlemen.
Sejak Macron mengadakan pemilu dadakan musim panas lalu, indeks pasar saham acuan CAC 40 Prancis (FCHI) telah turun hampir 10% dan menjadikan angka itu yang terburuk di antara negara-negara ekonomi utama Uni Eropa lainnya.
Euro EUR=EBS menunjukkan sedikit reaksi terhadap dolar, dan diperdagangkan sekitar $1,05 (sekitar Rp16.600) per euro (sekitar Rp16.700), tetapi turun terhadap mata uang Eropa lainnya seperti franc Swiss dan pound Inggris.
"Saya terkejut euro tidak banyak bergerak," kata Nick Rees, analis senior pasar valuta asing di Monex Europe. "Ada dua kekuatan besar di Eropa, Prancis dan Jerman, yang keduanya saat ini kehilangan kekuatan."
Rancangan anggaran Barnier bertujuan mengurangi defisit fiskal dari proyeksi 6% dari output nasional tahun ini menjadi 5% pada 2025. Menjatuhkan pemerintahannya akan menjadi bencana bagi keuangan negara, kata Barnier.
Le Pen tidak menggubris peringatan tersebut. Ia mengatakan partainya akan mendukung undang-undang darurat apa pun yang akhirnya mampu memperpanjang ketentuan pajak dan pengeluaran anggaran 2024 hingga tahun depan, untuk memastikan adanya pembiayaan sementara.
kp/ha (Reuters)