Presiden Korea Selatan yang Terbelit Skandal dan Darurat Militer

Presiden Korea Selatan yang Terbelit Skandal dan Darurat Militer

SEGALANYA tampaknya kian memburuk dari hari ke hari bagi Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol. Tersudut karena sejumlah skandal dan jadi frustasi, dia lalu mengejutkan rakyatnya pada Selasa (3/12/2024) malam saat secara mendadak mengumumkan kondisi darurat militer di negara itu.

Rakyat Korea Selatan, pihak oposisi, bahkan orang-orang separtai dengannya meradang. Mereka turun ke jalan dan menyerbu gedung parlemen. Sejumlah demonstran menggambarkan langkah Yoon mendeklarasi darurat militer sebagai kegilaan dan hal yang memalukan. Enam jam kemudian, deklarasi darurat militer itu dicabut lagi. Yoon pun terisolasi secara politik.

Yoon menjalani masa jabatan yang penuh masalah dan skandal menyusul kemenangan tipisnya dalam pemilu tahun 2022.

Sejak menjabat, dia terlibat perseteruan politik hampir tak terputus dengan oposisi yang menguasai parlemen. Pihak oposisi berulang kali mendorong penyelidikan terhadap istrinya, serta pemakzulan terhadap sejumlah anggota kabinetnya, dan menuduh mereka melakukan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Anggota parlemen memblokir sejumlah rancangan undang-undang dan pengangkatan berapa pejabat yang dilakukan Yoon. 

Ribuan dokter telah melakukan aksi mogok selama hampir satu tahun untuk menolak reformasi layanan kesehatan yang dilakukannya.

Yoon dituduh menggunakan kekuasaannya untuk mengutamakan kepentingannya sendiri. Tahun ini, dia dituduh menekan Kementerian Pertahanan untuk memoles hasil penyelidikan atas kematian seorang marinir Korea Selatan tahun 2023, dan memveto rancangan undang-undang yang diajukan melalui parlemen oleh pihak oposisi untuk meminta penyelidikan atas kasus itu dilakukan jaksa khusus.

Istrinya, Kim Keon Hee, juga menjadi pusat sejumlah kasus. Akhir tahun lalu, muncul rekaman kamera tersembunyi yang menunjukkan Kim menerima tas Dior seharga 2.200 dolar AS (Rp 31,7 juta). Kejadian itu mengguncang partainya dan menjadi isu penting menjelang pemilihan parlemen.

Kim juga menghadapi tuduhan bahwa dia terlibat dalam skema manipulasi harga saham sebelum pemilihan Yoon. Bulan lalu Yoon terpaksa menyampaikan permintaan maaf secara nasional di televisi. Dia mengatakan sedang membentuk kantor yang mengawasi tugas-tugas Ibu Negara. Namun dia menolak untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut, sebagaimana diminta partai oposisi.

Parlemen yang dikuasai oposisi, tahun lalu, meloloskan rancangan undang-undang yang akan mengamanatkan jaksa khusus untuk menyelidiki kasus Kim. Yoon memveto RUU itu.

 

Selain itu, hubungan dengan Korea Utara telah merosot ke titik terendah sejak Yoon menjabat. Selama berpuluh-puluh tahun, kedua Korea – yang tidak pernah menandatangani perjanjian damai setelah Perang Korea tahun 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata – selalu bergantian antara melakukan pendekatan kooperatif dan ancaman militer. Yoon mengadopsi sikap konfrontatif dan menyerukan penyebaran gagasan kebebasan ke Utara guna mengatasi kebekuan informasi di sana. Dia juga memperluas latihan militer gabungan dengan Amerika Serikat dan Jepang.

Karena sejumlah kasus itu, tingkat dukungan (approval rating) Yoon turun tajam, hanya sekitar 17 persen, dalam sejumlah jajak pendapat.

Selasa malam lalu, Yoon secara mengagetkan membuat langkah drastis, sebuah perjudian politik paling berani, yang menurutnya didorong rasa frustrasi dan krisis. Dalam pidatonya yang disiarkan secara nasional di televisi, dia mengumumkan darurat militer di negara itu. Dekrit itu merupakan yang pertama di Korea Selatan setelah lebih dari empat dekade.

Melalui dekrit itu, dia melarang semua aktivitas politik, pertemuan sipil, dan “berita bohong” demi menyelamatkan negaranya dari “kekuatan pro-Korea Utara” dan “anti-negara.” Namun, dekrit itu tidak berlaku lama, hanya sekitar enam jam. Yoon mencabutnya lagi.

Ribuan warga turun ke jalan-jalan sambil berteriak “Pecat Yoon Suk Yeol!”. Sejumlah anggota parlemen oposisi memanjat tembok untuk bisa masuk ke gedung parlemen saat warga mendorong mundur polisi. Di dalam, sejumlah anggota parlemen, termasuk mereka yang berasal dari Partai Kekuatan Rakyat pimpinan Yoon, dengan suara bulat memutuskan untuk membatalkan darurat militer. Yoon kemudian muncul lagi di televisi, kali ini untuk mencabut keputusannya.

Peristwa itu merupakan darurat militer paling pendek dan paling aneh dalam sejarah Korea Selatan, yang pernah mengalami kudeta militer dan periode darurat militer sebelum menjadi negara demokrasi yang dinamis setelah kediktatoran militer yang berakhir tahun 1980-an.

Seorang mantan staf Yoon yang juga seorang analis politik mengatakan, bekas bosnya itu didorong oleh sikap impulsif dan dikelilingi sekelompok kecil orang yang jarang membantah Yoon yang terkenal suka meledak-ledak. Yoon, menurut dia, pada akhirnya mencelakai dirinya sendiri. Kini masa depan politiknya di ujung tanduk. Keputusannya telah membawa salah satu sekutu terpenting Amerika Serikat di Asia itu ke dalam pergolakan politik dan membuat banyak warga Korea Selatan tercengang.

 

Partai-partai oposisi telah mengajukan rancangan undang-undang pemakzulan setelah Yoon tidak menanggapi permintaan mereka agar dia mengundurkan diri karena pernyataan darurat militernya tidak konstitusional. Sebuah editorial di harian konservatif terkemuka Chosun Ilbo, yang selama ini bersikap ramah terhadap Yoon, kini menuduhnya “menghina” demokrasi Korea Selatan.

Rakyat Korea Selatan belum pernah melihat pemimpin mereka mengumumkan darurat militer sejak diktator militer Chun Doo Hwan menggunakannya untuk merebut kekuasaan pada tahun 1979 dan kemudian membantai mahasiswa pro-demokrasi.

 

“Opsi terbaik yang dimiliki Yoon saat ini adalah mengundurkan diri,” kata Sung Deuk Hahm, profesor ilmu politik di Universitas Kyonggi, yang terletak di sebelah barat Seoul, kepada The New York Times. 

Hari Rabu, semua pembantu senior Yoon mengajukan pengunduran diri. Hal itu membuatnya semakin terisolasi. Sejumlah analis pun skeptis terhadap masa depan politik Yoon.

“Saya pikir dia tidak akan bisa menyelesaikan masa jabatan lima tahunnya,” kata Kang Won Taek, ilmuwan politik di Universitas Nasional Seoul, sebagaimana dikutip The New York Times.

Menurut Hahm, yang telah mengenal Yoon sebelum dia terpilih jadi presiden, Yoon semakin putus asa dalam beberapa bulan terakhir, terutama karena skandal-skandal yang terus membelit diri dan istrinya, ditambah dengan tekanan politik tanpa henti dari pihak oposisi.

“Segala sesuatunya menjadi terlalu berat baginya… Dia menjadi tidak stabil secara mental akibat tekanan politik,” kata Hahm.

Seorang mantan staf Yoon yang tidak mau disebut namanya mengatakan kepada The New York Times bahwa Yoon dikelilingi sejumlah kecil pembantu dekat, termasuk beberapa mantan jenderal militer, yang tidak terbiasa mempertanyakan keputusan atasan mereka. Keberadaan kelompok kecil itu menimbulkan pertanyaan terkait sejauh mana Yoon telah mempersiapkan pemberlakuan darurat militer.

Mantan staf itu mengatakan, begitu dia mendengar penerapan darurat militer, dia menghubungi orang di kantor Yoon dan bagian lain di pemerintahan. Namun tidak satu pun dari mereka yang mengetahui sebelumnya tentang apa yang akan terjadi.

 

Bahkan para pemimpin tertinggi di partai Yoon mengatakan bahwa mereka mengetahui deklarasi darurat militer dari berita media. Kim Byung Joo, anggota parlemen oposisi dan seorang jenderal purnawirawan, mengatakan kepada Radio MBC bahwa ketika dia menelepon para jenderal militer di dekat perbatasan Korea Utara, tidak ada satu pun yang mengetahui apa yang sedang terjadi.

Sebelum terjun ke ajang pemilihan presiden tahun 2022, Yoon merupakan pendatang baru di dunia politik. Ia jaksa terkenal yang menggunakan hukum untuk memenjarakan dua mantan presiden, dan terbiasa dengan budaya kepemimpinan yang kaku dan hierarkis.

Ia memenangkan pemilu dengan selisih suara tipis, sebagian besar karena ketidakpuasan rakyat terhadap pendahulunya, Moon Jae In. Namun, sejak awal, ia telah mengutarakan ambisi besar, seolah-olah menetapkan dirinya sebagai pembawa perubahan dalam sistem politik yang penuh kebuntuan.

Yoon mengarahkan Korea Selatan kembali ke jalur yang mendukung penggunaan tenaga nuklir, memperbaiki hubungan dengan Jepang, dan memperluas aliansi militer dengan Amerika Serikat dan Jepang, sekaligus bersikap lebih keras terhadap Korea Utara.

Namun hanya sedikit agenda dalam negerinya yang berhasil. Pada April 2023, Partai Kekuatan Rakyat pimpinan Yoon menderita kekalahan telak dalam pemilihan parlemen. Hal itu membuat oposisi menguasai parlemen. Yoon menjadi presiden Korea Selatan pertama dalam beberapa dekade yang menghadapi parlemen yang sepenuhnya dikuasai oposisi sepanjang masa jabatannya. Yoon pun menjadi presiden yang tak berdaya, seperti bebek lumpuh (lame duck), sejak April itu.

Pemerintahannya sejak saat itu tidak mampu meloloskan rancangan undang-undang yang mereka inginkan dan hanya bisa memveto rancangan undang-undang yang disahkan oposisi. 

Pemerintahannya juga dituduh telah menggunakan jaksa dan investigasi kriminal untuk mengintimidasi para pemimpin oposisi dan menindak media dengan tuduhan menyebarkan “berita bohong”.

 

Yoon sering disebut sebagai “pemimpin suku” oleh para analis politik karena kegemarannya menunjuk teman-teman setia di antara para mantan jaksa dan sesama alumni sekolah menengah atas untuk menduduki jabatan-jabatan penting di militer dan pemerintahan.

Salah satunya Han Dong Hoon, orang kepercayaan Yoon saat menjadi jaksa agung. Sebagai presiden, Yoon menunjuk Han menjadi menteri kehakiman dan kemudian membantunya menjadi ketua partai penguasa. Namun mereka berselisih karena perbedaan cara menangani tuduhan terhadap istri Yoon.

Menurut sejumlah mantan staf dan laporan media lokal, mereka semakin tidak menyukai satu sama lain sehingga Yoon menganggap Han pengkhianat.

“Dia pasti merasa dikelilingi musuh dan dia harus mengambil keputusan yang berani,” kata Ahn Byong Jin, ilmuwan politik di Universitas Kyung Hee di Seoul kepada The New York Times. “Tetapi sungguh mengejutkan bahwa dia tidak tahu bagaimana hal itu akan diterima oleh parlemen dan masyarakat.”

Hahm mengatakan, Yoon seorang pria impulsif yang dikelilingi “para pembantunya yang penjilat”. Saat Hahm bertemu Yoon setelah partainya mengalami kekalahan telak dalam pemilihan parlemen pada April lalu, dia terkejut Yoon menjadi lebih “keras kepala dan banyak bicara”.

Menurut Hahm, Yoon tampaknya hidup dengan emosi yang saling bertentangan. Di satu sisi, dia dipenuhi optimisme bahwa segala sesuatunya akan berjalan secara ajaib, seperti yang terjadi dalam kariernya sebelumnya. Di sisi lain, dia khawatir akan menjadi presiden yang gagal dan tidak memiliki warisan positif apapun – sebuah hasil yang tampaknya dia dapatkan ketika menggunakan kekuatan militer untuk menghadapi lawan-lawannya pada Selasa malam itu.

"Saya pikir kedua perasaan itu telah menyatu dan mendorongnya untuk membuat keputusan tersebut,” kata Hahm.

Sumber