Presiden Suriah, Bashar al-Assad, Terjebak di Antara Iran dan Israel

Presiden Suriah, Bashar al-Assad, Terjebak di Antara Iran dan Israel

TANGGAl 26 Oktober 2024, lebih dari 100 jet tempur Israel mengebom sejumlah lokasi di Iran. Namun target gelombang pertama para pilot Israel hari itu adalah Suriah. Israel terlebih dulu harus melumpuhkan sistem pertahanan udara dan radar Suriah yang mungkin akan digunakan untuk memperingatkan Iran tentang serangan udara tersebut.

Setelah pertahanan udara dan radar Suriah lumpuh, barulah jet-jet Israel lainnya melakukan serangan terhadap sasaran-sasaran di Iran dalam dua gelombang. Jet-jet tempur itu melewati Suriah dan Irak. Irak belakangan mengadu ke PBB bahwa Israel telah melanggar wilayah udaranya saat melakukan serangan ke Iran.

Negara-negara tetangga lainnya, termasuk Yordania dan Arab Saudi, dengan cepat memberi tahu dunia luar bahwa pesawat-pesawat Israel tidak melewati wilayah mereka. Negara-negara Arab berada di bawah tekanan agar tidak terlihat membantu Israel. Uni Emirat Arab dan Arab Saudi takut terseret ke dalam konflik itu. Mereka sebelumnya telah berusaha meyakinkan Iran bahwa tidak akan terlibat dalam aksi militer apapun yang dilakukan Israel.

Setelah serangan Israel itu berakhir, pemerintah Suriah, yang dipimpin diktator Bashar al-Assad, menjadi pihak yang paling mendapat tekanan.

Eva Koulouriotis, pakar independen tentang Timur Tengah yang berbasis di London, mengatakan, hari-hari setelah serangan itu “mungkin menjadi hari paling rumit bagi rezim Assad”.

“(Suriah) berdiri di antara… sekutu Iran yang terpaksa menggunakan semua kartu strategisnya untuk melindungi keamanan nasional dan kepentingan regionalnya, dan pemerintah Israel yang ingin mengubah garis pengaruh di Timur Tengah, khususnya pengaruh Iran," kata Koulouriotis sebagaimana dikutip DW (Deutsche Welle)

Saat konflik antara Israel dan kelompok Hamas dan Hizbullah yang didukung Iran meningkat, sejumlah analis telah melihat bahwa pemerintah Suriah memang diam, menghindar untuk terlibat dalam konflik tersebut.

Padahal rezim Suriah merupakan salah satu sekutu terdekat Iran. Suriah, di bawah rezim keluarga Assad yang otoriter, telah menjadi sekutu terdekat Iran di dunia Arab sejak tahun 1980-an, ketika ayah Bashar al-Assad, mendiang Hafez al-Assad, memihak Iran selama delapan tahun perang Iran-Irak. Saat itu, negara-negara Arab lainnya memihak Irak.

Suriah juga membantu militer Iran dalam mendukung kelompok Hizbullah di Lebanon saat kelompok bersenjata itu pertama kali terbentuk, setelah Israel menginvasi Lebanon tahun 1980-an. Selama bertahun-tahun, Suriah telah menjadi jalur transfer senjata dan fasilitas lainnya buat Iran dan kelompok sekutunya seperti Hizbullah.

Belakangan Hizbullah ikut membantu rezim Assad agar tetap berkuasa. Anggota Hizbullah, ikut melawan kaum revolusioner dalam perang saudara yang telah berlangsung lama di Suriah.

Walau menjadi bagian dari aliansi, rezim Suriah relatif diam saat Israel selama beberapa bulan terakhir membunuh para pemimpin Hizbullah, atau saat melancarkan serangan udara terhadap apa yang dikatakan Israel sebagai target-target terkait Hizbullah di Lebanon.

Ketika Israel menginvasi Lebanon tahun 2006, Assad jauh lebih vokal. Karena itu, para ahli kini menggambarkan Assad sebagai sosok yang “secara mengejutkan” dan "misterius” jadi pendiam.

Israel juga bahkan secara rutin mengebom apa yang diklaimnya sebagai target-target yang terkait dengan Hizbullah di Suriah. Baru-baru ini, Israel menargetkan jalur pelintasan di perbatasan Suriah-Lebanon dan infrastruktur Suriah seperti jembatan dan jalan raya karena, menurut Israel, infrastruktur tersebut digunakan untuk memasok senjata dan berbagai hal lain bagi Hizbullah di Lebanon.

Pemerintah Suriah hanya mengecam serangan-serangan itu tetapi tidak mengambil tindakan apapun.

Seth Frantzman, peneliti di The Foundation of Defense of Democracies, mengatakan keengganan pemerintah Suriah mendukung langkah Iran terhadap Israel "kemungkinan disebabkan oleh pandangan rezim itu bahwa eskalasi tidak akan memberi keuntungan tetapi justru membawa banyak kerugian."

Ia mengatakan kepada VOA bahwa saat perang saudara yang sudah berlangsung lama di Suriah masih belum terselesaikan, Damaskus masih berusaha mencari cara untuk mengembalikan pasukannya ke daerah-daerah yang diduduki Turki di Suriah utara dan mendesak AS pergi dari Suriah timur dan berhenti mendukung pemberontak Syrian Democratic Forces

"Jadi, rezim itu mempunyai cukup banyak masalah,” kata dia.

Suriah secara historis memang berupaya untuk menjaga keseimbangan hubungan dengan Israel. Negara itu berbatasan langsung dengan Israel. Bahkan saat keluarga Assad bersekutu dengan Iran, pemerintah Suriah berusaha menghindari masalah dengan Israel dengan menjaga front Golan – wilayah Suriah yang diduduki Israel – tetap tenang.

Menurut Frantzman, selama beberapa dekade Suriah telah menunjukkan bahwa mereka lebih memilih status quo dengan Israel.

“Mereka menghindari risiko dan meskipun mereka merupakan bagian dari ‘poros perlawanan’ (bersama dengan Iran, Irak, dan sejumlah kelompok proksi Iran lainnya) terhadap Israel, Suriah mengakui bahwa mereka tidak dapat mengalahkan Israel sejak tahun 1970an,” kata Frantzman.

Assad tahu bahwa kerterlibatan terlalu jauh dalam konflik saat ini “akan mendorong tindakan Israel yang dapat melemahkan kemampuan militer negara itu melindungi kekuasaan Damaskus,” tulis Soufan Group, sebuah badan konsultan keamanan AS, awal tahun ini.

Perang saudara di Suriah yang sudah berlangsung 13 tahun masih dalam kondisi statis, tidak ada pihak yang keluar sebagai pemenang. Berbagai wilayah di negara itu dikendalikan berbagai kelompok bersenjata yang berbeda. Jika rezim Assad melemah, hal itu memberikan peluang bagi kekuatan anti-pemerintah untuk berperang lagi.

“Menurut saya, yang pertama dan terpenting adalah tentang mempertahankan diri,” kata Haid Haid, konsultan program Timur Tengah dan Afrika Utara di lembaga think tank Inggris, Chatham House, kepada DW.

Menurut dia, Assad juga secara tidak langsung telah diberitahu Israel untuk tidak terlibat. Israel tahu, Iran terus menggunakan wilayah Suriah untuk menyelundupkan senjata ke Hizbullah.

Ahmed Rahal, mantan jenderal militer Suriah yang membelot dari militer tahun 2012 mengatakan, Hizbullah memang telah menarik sebagian besar kombatannya dari Suriah untuk berperang di Lebanon. Namun kelompok itu masih membutuhkan seseorang untuk mengangkut senjata-senjata Iran, dan orang tersebut adalah Maher, saudara laki-laki Assad yang mengepalai Divisi Keempat tentara Suriah.

Beberapa media Arab melaporkan, salah satu serangan Israel di Suriah yang dilakukan pada akhir September lalu menghantam kediaman Maher al-Assad di dekat Damaskus.

“Pesan Israel kepada Assad jelas Jangan mengirimkan senjata ke Hizbullah,” kata Rahal. “Jadi tampaknya di bawah ancaman Israel, rezim Assad terpaksa menjauhkan diri dari Iran dalam konteks konflik ini.”

Namun, Iran juga menjelaskan kepada Assad bahwa jalur untuk memasok persediaan kepada Hizbullah harus tetap dibuka.

“Dapat dikatakan bahwa Iran telah berusaha untuk mendapatkan keuntungan lebih dari Assad,” kata Haid. "Namun, Assad tetap konsisten menolak, dan terdapat berbagai laporan mengenai ketegangan yang muncul akibat hal itu."

Menurut Koulouriotis, untuk memuaskan Israel, Assad telah mencegah demonstrasi pro-Hizbullah dan menarik pasukan Suriah dari dekat Golan, lalu meminta Rusia mengganti mereka dengan pasukan Rusia. Demi memuaskan pihak Iran, ia mengirim tentara Suriah ke Aleppo dan Idlib sehingga para pejuang Hizbullah yang sebelumnya ditempatkan di sana dapat pindah ke Lebanon dan menawarkan senjata kepada mereka.

Hingga saat ini, Iran belum meminta Assad untuk mengizinkan mereka melawan Israel via Golan.

“Teheran tidak akan mengambil keputusan berbahaya itu kecuali jika menghadapi ancaman terhadap keamanan nasionalnya, seperti menargetkan program nuklirnya,” kata Koulouriotis.

Namun, jika hal itu terjadi, Assad tidak punya pilihan selain melakukan apa yang diperintahkan Iran kepadanya, tambahnya.

Menurut Haid, Iran tidak menyembunyikan tujuan utama mereka hadir di Suriah, yaitu menciptakan kekuatan yang dapat digunakan saat melawan Israel jika diperlukan.

“Jadi, dari sudut pandang itu, saya pikir aman untuk mengatakan bahwa, jika Assad tidak bisa menjaga jalur pasokan tetap terbuka, maka itu bisa menjadi salah satu permintaan Iran,” kata dia.

“Mereka mungkin berkata ‘Dengar, jika Anda tidak ingin terlibat secara langsung, izinkan kami melakukan serangan dari Suriah.’ Pada akhirnya, Assad bisa saja tidak terlibat langsung dan kemudian mengaku tidak tahu apa-apa.”

Meskipun Suriah telah berusaha untuk mendekatkan diri dengan negara-negara Arab yang sebelumnya menjauhinya selama perang saudara, baik Haid maupun Koulouriotis tidak percaya bahwa Suriah akan melepaskan aliansinya dengan Iran demi hubungan yang lebih baik dengan negara-negara Teluk. Assad kemungkinan besar akan berusaha menjaga keseimbangan antara Israel dan Iran seperti yang dilakukan ayahnya sebelumnya.

“Saya tidak melihat bahwa (Assad) akan mengorbankan hubungan itu kecuali dia secara pribadi dan rezimnya berada dalam bahaya,” ujar Koulouriotis.

Pihak yang paling dirugikan dari langkah Assad adalah rakyat biasa Suriah.

“Karena jalur pasokan dan pergerakan barang dari Lebanon telah ditangguhkan, dan gelombang pengungsi memberikan tekanan pada sumber daya, harga-harga di Suriah meningkat,” ujar Haid. “Bahkan tanpa keterlibatan langsung rezim dalam eskalasi militer di kawasan itu, rakyat biasa di Suriah harus menanggung akibatnya.”

Sumber