Presidential Threshold Dihapus, Gerindra: Masih Ada Tahapan Sebelum Resmi Jadi Produk Revisi UU

Presidential Threshold Dihapus, Gerindra: Masih Ada Tahapan Sebelum Resmi Jadi Produk Revisi UU

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Fraksi Gerindra DPR Budisatrio Djiwandono mengatakan, pihaknya menghormati dan siap mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Budi menyebut, Gerindra akan menjadikan keputusan tersebut sebagai acuan dalam pembahasan revisi UU Pemilu.

“Kami menghormati dan siap mematuhi keputusan MK. Segera setelah ini kami akan mempelajari lebih detail putusan tersebut sebelum kami jadikan acuan dalam pembahasan revisi UU Pemilu,” ujar Budisatrio kepada Kompas.com, Jumat (3/1/2025).

Budisatrio menekankan, pada dasarnya, Fraksi Gerindra berpegang teguh pada prinsip-prinsip demokrasi.

Maka dari itu, kata dia, pihaknya ingin memastikan agar Fraksi Gerindra menjunjung putusan MK sebagai bagian dari amanat demokrasi.

“Kami sadar sepenuhnya bahwa keputusan MK bersifat mengikat, dan putusan ini adalah bagian dari pilar demokrasi yang harus kita jaga,” tuturnya.

“Masih ada sejumlah tahapan yang harus dilewati sebelum putusan ini diresmikan sebagai produk revisi UU. Maka dari itu, Fraksi Gerindra akan terus mengawal prosesnya, agar penerapan putusan bisa berjalan efektif dan selaras dengan amanat dalam putusan MK,” kata Budi.

MK menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold.

Hal tersebut diputuskan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo, saat membacakan putusan.

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujarnya. 

MK memutuskan menghapus presidential threshold karena aturan ini dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat.

Selain itu, aturan tersebut melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK.

Dalam putusannya, MK juga mempertimbangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang berjalan selama ini didominasi partai peserta pemilu tertentu.

MK berpandangan, hal tersebut berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih untuk mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Jika presidential threshold terus dipertahankan, MK khawatir muncul kecenderungan Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon.

Selain itu, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi atau terbelah karena hanya ada dua pasangan calon yang maju dalam Pilpres.

Ada juga kemungkinan pilpres diikuti oleh calon tunggal, seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Hal tersebut berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat dan menyediakan banyaknya pilihan capres dan cawapres.

Sumber