Presidential Threshold Dihapus, Pakar Sarankan Ambang Batas Maksimal agar Tak Ada Aksi Borong Partai
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengusulkan agar ada ambang batas maksimal koalisi partai yang hendak mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Hal ini diperlukan agar tidak ada aksi borong partai yang dilakukan meskipun ambang batas minimal (presidential threshold) telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ambang batas maksimal sangat mungkin untuk diterapkan mengingat adanya lampu hijau dari MK yang tidak menghendaki praktik dominasi kelompok politik tertentu yang mengarah pada borong partai," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (4/1/2024).
Titi mengatakan, ketentuan batas maksimal akan membuat partai lebih sehat karena dituntut untuk terus menyiapkan kader terbaik maju sebagai calon presiden.
Dia juga menyampaikan, dalam putusan 62/PUU-XXII/2024, MK telah memberikan rambu-rambu agar pembentuk undang-undang bisa melakukan rekayasa konstitusional agar tidak terlalu banyak calon presiden yang muncul.
"Salah satunya pada butir ketiga bahwa dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik," ujarnya.
Selanjutnya, pada butir ketiga, MK menyatakan bahwa partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Dua perintah MK atau judicial orders tersebut, kata Titi, menghendaki tidak terjadinya aksi borong partai atau skenario membatasi pilihan pemilih dengan membentuk koalisi pencalonan gemuk yang bisa berdampak pada pelemahan sistem presidensil karena lemahnya kekuatan penyeimbang kontrol atas kekuasaan yang ada.
"Salah satu kebijakan yang dibuat pembentuk UU berdasarkan putusan MK tersebut adalah dengan mengatur ambang batas maksimal sebagai persyaratan dalam membentuk koalisi pencalonan presiden dan wakil presiden," ujarnya.
Titi menilai, angka maksimal 50 persen atau 60 persen dari koalisi pencalonan adalah angka yang feasible sehingga akan selalu ada keragaman pilihan yang bisa didapat pemilih dalam kontestasi pilpres.
Dengan demikian, pilpres yang berlangsung akan memiliki substansi semangat yang ada dalam putusan MK, yaitu melahirkan pilpres yang inklusif tanpa ada dominasi atau hegemoni kekuatan politik tertentu.
"Selain itu, jalannya pemerintahan akan memiliki kekuatan penyeimbang melalui partai-partai di DPR yang tidak akan melulu bergabung dengan koalisi partai anggota kabinet," kata dia.