Presidential Threshold Dihapus, Yusril: Beri Peluang Besar ke PBB

Presidential Threshold Dihapus, Yusril: Beri Peluang Besar ke PBB

DENPASAR, KOMPAS.com - Pendiri Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra berharap, penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold memberi peluang kepada kader partainya untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi itu juga memiliki konsekuensi penghapusan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.

"Dengan munculnya putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan presidential threshold kemudian tentang parliamentary threshold, maka ke depan itu memberikan peluang yang lebih besar kepada Partai Bulan Bintang untuk tampil di tengah-tengah masyarakat dan diharapkan akan meraih suara kemudian dapat menempatkan wakil-wakilnya di DPR, itu harapan saya," kata dia selepas menghadiri Muktamar VI Partai Bulan Bintang (PBB) di Hotel Aston, Denpasar, Bali, pada (13/1/2025).

Politisi yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan ini juga menilai, penerapan presidential threshold dan parliamentary threshold pada pemilihan umum (pemilu) di Indonesia membuat demokrasi semakin tidak sehat.

Oleh karena itu, ia mengusulkan agar partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara tetap bisa menempatkan wakilnya di DPR, meskipun hanya satu orang.

"Seperti pemilu pada tahun 2019, itu partai-partai politik yang tidak memenuhi parliamentary threshold kalau digabung jumlahnya besar sekali, oleh karena itu digabung saja supaya tidak terbuang," kata dia.

"Menurut pendapat saya pribadi, dibatasi jumlah fraksi di DPR, jumlah fraksinya 10, jadi kalau partai itu kurang dari 10 persen, bisa membuat suatu fraksi gabungan," ucapnya. 

MK memberikan lima poin pedoman rekayasa konstitusional atau constitutional engineering, menyusul dihapusnya ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan, pedoman untuk melakukan rekayasa konstitusional dapat dipertimbangkan oleh pembentuk undang-undang dalam merevisi UU Pemilu agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membeludak.

"Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia," kata Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, pada Kamis (2/1/2025), dikutip dari Antara.

Oleh karena itu, kata dia, pembentuk undang-undang, dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017, dapat melakukan rekayasa konstitusional dengan memperhatikan sejumlah hal, yaitu

  1. Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

  2. Pengusulan pasangan capres-cawapres oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

  3. Dalam mengusulkan pasangan capres-cawapres, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi, sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon serta terbatasnya pilihan pemilih.

  4. Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan capres-cawapres dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

  5. Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Sumber