Prioritas Kebijakan Pendidikan Nasional
Bangsa yang hancur adalah bangsa yang tidak membaca. Literasi merupakan fondasi bagi kemajuan sebuah negara, dan ketika budaya membaca tidak menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat, berbagai sektor kehidupan akan mengalami kemunduran. Tidak hanya berpengaruh pada kemampuan berpikir kritis individu, rendahnya tingkat literasi juga berdampak pada kualitas ekonomi, politik, sosial, dan budaya bangsa. Sejarah telah menunjukkan bahwa negara-negara yang menempatkan pendidikan dan budaya membaca sebagai prioritas utama cenderung memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik dan stabilitas yang lebih kuat. Tingkat literasi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Data UNESCO menunjukkan bahwa peningkatan literasi sebesar 1% dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara hingga 1,5%. Negara-negara maju seperti Finlandia, Jepang, dan Jerman telah menempatkan literasi sebagai salah satu pilar utama kebijakan pendidikan mereka. Masyarakat di negara-negara ini tidak hanya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, tetapi juga kemampuan untuk menguasai teknologi, berinovasi, dan bersaing di pasar global. Sebaliknya, negara-negara dengan tingkat literasi rendah sering terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang sulit dipecahkan. Sulit Beradaptasi
Rendahnya kemampuan membaca dan memahami informasi mengakibatkan masyarakat sulit beradaptasi dengan perkembangan zaman, sehingga potensi mereka tidak dapat berkembang secara maksimal. Tidak hanya ekonomi, literasi juga memainkan peran penting dalam kehidupan politik. Masyarakat dengan kemampuan literasi yang rendah cenderung lebih mudah dimanipulasi oleh informasi yang menyesatkan, seperti berita palsu atau propaganda politik. Tanpa kemampuan berpikir kritis dan menganalisis informasi secara mendalam, masyarakat rentan terjebak dalam wacana populis atau bahkan menjadi korban dari kepentingan kelompok yang tidak bertanggung jawab. Data dari World Bank menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat literasi tinggi, seperti Norwegia dan Swedia, memiliki kualitas demokrasi yang baik serta partisipasi politik yang tinggi. Sebaliknya, negara-negara dengan tingkat literasi rendah sering menghadapi persoalan demokrasi yang lemah dan tingkat partisipasi pemilu yang rendah, yang berakibat pada rendahnya kualitas pemerintahan dan kebijakan publik yang tidak efektif.
Lebih jauh lagi, literasi memegang peranan krusial dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM). Berdasarkan laporan dari Program for International Student Assessment (PISA), negara-negara dengan tingkat literasi rendah menunjukkan hasil yang kurang memuaskan dalam tes PISA. Hal ini mencerminkan lemahnya kemampuan siswa dalam memahami teks serta berpikir kritis, yang berimplikasi pada kurangnya keterampilan dasar yang dibutuhkan di pasar tenaga kerja. Pada era revolusi industri 4.0, kemampuan membaca dan memahami informasi secara cepat dan akurat sangat penting untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan pasar yang semakin dinamis. Selain itu, literasi juga menjadi elemen penting dalam menjaga ketahanan budaya. Budaya suatu bangsa dapat terancam punah jika masyarakatnya tidak memiliki kebiasaan membaca dan belajar tentang sejarah serta warisan budaya mereka. Ketika literasi rendah, masyarakat cenderung melupakan akar budaya dan nilai-nilai tradisional yang membentuk identitas mereka. Hal ini membuka ruang bagi budaya asing untuk mendominasi dan melemahkan jati diri bangsa. Karya sastra, buku sejarah, dan berbagai literatur lainnya merupakan medium penting untuk mentransmisikan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tanpa minat baca yang kuat, warisan budaya ini akan terkikis, dan generasi muda akan kehilangan koneksi dengan sejarah serta identitas nasional mereka.Prioritas dalam Kebijakan
Upaya untuk meningkatkan literasi harus dilakukan dengan serius dan berkelanjutan. Pemerintah perlu menjadikan literasi sebagai prioritas dalam kebijakan pendidikan nasional, termasuk memperkuat infrastruktur seperti perpustakaan dan taman bacaan masyarakat, serta menyediakan akses terhadap buku dan materi bacaan berkualitas. Gerakan literasi nasional perlu terus digalakkan, tidak hanya melalui kegiatan di sekolah, tetapi juga melibatkan komunitas dan kampanye di media sosial. Dukungan terhadap para penulis dan penerbit lokal juga penting untuk memperkaya literatur yang dapat diakses oleh masyarakat. Pada era digital, penyediaan buku elektronik dan peningkatan literasi digital akan membantu menjangkau lebih banyak pembaca, terutama di kalangan generasi muda yang lebih akrab dengan teknologi.
Kesimpulannya, bangsa yang tidak membaca adalah bangsa yang kehilangan masa depan. Literasi bukan hanya tentang kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan berpikir kritis, memahami informasi, dan beradaptasi dengan perubahan. Tanpa literasi yang baik, suatu bangsa akan kesulitan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Membangun budaya membaca adalah upaya untuk memastikan bahwa masa depan bangsa dipenuhi dengan peluang dan harapan, bukan ketidakpastian dan kehancuran. Literasi harus menjadi fondasi yang kokoh dalam membangun bangsa yang kuat, mandiri, dan berdaya saing di panggung global.
Waode Nurmuhaemin doktor manajemen pendidikan