Profil Naim Qassem, Pemimpin Baru Hizbullah, Sempat Dukung Gencatan Senjata dengan Israel
BEIRUT, KOMPAS.com - Profil Naim Qassem menunjukkan perannya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Hizbullah.
Kini, dia telah ditunjukkan menjadi Sekretaris Jenderal atau Pemimpin Baru Hizbullah menggantikan Hassan Nasrallah yang terbunuh dalam serangan Israel di Beirut pada bulan lalu.
“Dewan Syura Hizbullah (yang memerintah) setuju untuk memilih Sheikh Naim Qassem sebagai sekretaris jenderal Hizbullah,” kata Hizbullah dalam sebuah pernyataan pada Selasa (29/10/2024), dikutip dari Al Jazeera.
Sebelumnya, nama Hashem Safieddine telah digadang-gadang akan menggantikan Hassan Nasrallah.
Namun, Kepala Dewan Eksekutif Hizbullah itu juga terbunuh dalam serangan Israel di pinggiran selatan Beirut tak lama setelah pembunuhan Nasrallah.
Pada akhirnya, Naim Qassem menjadi pemimpin Hizbullah yang baru.
Naim Qassem lahir pada 1953 di desa Kfar Kila, Provinsi Nabatieh, Lebanon selatan.
Dilansir dari Reuters pada Selasa (8/10/2024), Qassem memulai kiprah politiknya pada 1970-an sebagai anggota dari Gerakan Amal milik Imam Musa al-Sadr.
Dia menempuh pendidikan sarjana bidang kimia di Universitas Lebanon pada tahun 1970-an.
Sembari menyelesaikan studinya, Qassem juga menimba ilmu agama dan teologi secara lebih dalam di bawah bimbingan Ayatollah Mohammad Hussein Fadlallah.
Pada 1974-1988, dia aktif sebagai anggota sekaligus pendiri Persatuan Mahasiswa Muslim Lebanon dan pernah menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pendidikan Agama Islam.
Qassem kemudian memutuskan untuk meninggalkan Amal pada 1979 setelah Revolusi Islam Iran.
Dia kemudian ikut serta dalam sejumlah pertemuan yang mengarah pada pembentukan Hizbullah, hingga akhirnya kelompok tersebut berdiri pada 1982.
Atas keterlibatannya mendirikan Hizbullah, Qassem menjadi salah satu tokoh kunci.
Pada 1991, dia ditunjuk menjadi Wakil Sekretaris Jenderal Hizbullah.
Dia diangkat sebagai wakil sekretaris jenderal di bawah mendiang Sekretaris Jenderal Hizbullah, Abbas al-Musawi yang tewas oleh serangan helikopter Israel pada 1992.
Naim Qassem tetap menjabat sebagai "orang nomor dua" Hizbullah setelah Nasrallah memimpin untuk menggantikan al-Musawi.
Diberitakan al Arabiya pada Senin (30/9/2024), Naim Qassem juga adalah seorang penulis dan pengarang, serta telah menerbitan lebih dari selusin buku tentang keagamaan dan politik.
Salah satu karya populernya adalah Hizbullah the Story from Within yang terbit pada 2005.
Buku tersebut menceritakan tentang dasar dan ideologi gerakan Hizbullah menurut pemahaman Qassem.
Hingga saat ini, karyanya itu telah diterjemahkan ke dalam enam bahasa, yakni Inggris, Persia, Prancis, Indonesia, Turkiye, dan Urdu.
Belum lama ini, Naim Qassem sempat menjadi sorotan ketika pertikaian antara Hizbullah dan Israel memanas.
Ia menyatakan dukungannya terhadap gencatan senjata dengan Israel.
Pernyataan itu disampaikan oleh Naim Qassem sebagai tanggapan dari usulan Ketua Parlemen Hizbullah, Nabih Berri yang menginginkan penghentian peperangan antara Hizbullah dan Israel.
Berbicara di depan tirai dari lokasi yang dirahasiakan pada 8 Oktober, Naim Qassem mengatakan, konflik antara Hizbullah dan Israel adalah perang tentang siapa yang menangis lebih dulu, dan Hizbullah tidak akan menangis lebih dulu.
Menurutnya, kemampuan Hizbullah masih utuh meskipun mendapat “pukulan yang menyakitkan” dari Israel.
Namun Naim Qassem menambahkan, Hizbullah mendukung upaya Ketua Parlemen Nabih Berri untuk mengamankan gencatan senjata, dan untuk kali pertama ia tidak menyebutkan kesepakatan gencatan senjata Gaza sebagai prasyarat untuk menghentikan serangan Hizbullah terhadap Israel.
"Kami mendukung upaya politik yang dipimpin oleh Berri untuk mencapai gencatan senjata. Setelah gencatan senjata ditetapkan dengan kuat dan diplomasi dapat tercapai, semua detail lainnya akan dibahas dan keputusan akan dibuat secara kolaboratif," ujar Qassem dalam pidatonya, dikutip dari Reuters.
Dukungan gencatan senjata ini diumumkan beberapa jam setelah Hizbullah melepaskan lebih dari 100 rudal dari Lebanon ke Haifa, Israel.
Pidatonya yang disiarkan di televisi selama 30 menit itu disampaikan hanya beberapa hari setelah tokoh senior Hizbullah, Hashem Safieddine, diperkirakan menjadi target serangan Israel dan 11 hari setelah pembunuhan sekretaris jenderal Hizbullah, Sayyed Hassan Nasrallah.
Pembunuhan Safieddine dikonfirmasi oleh Hizbullah pada 23 Oktober.