Prospek Obligasi 2025, Pefindo Blak-blakan Faktor Positif-Negatif
Bisnis.com, JAKARTA — PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memperkirakan bahwa prospek obligasi pada 2025 akan tetap solid, meski terdapat beberapa faktor positif dan negatif yang akan mempengaruhi.
Fixed Income Analyst Pefindo Ahmad Nasrudin mengatakan bahwa ada beberapa faktor positif untuk prospek obligasi pada 2025, di antaranya berlanjutnya pelonggaran moneter, mendorong harga (pricing) yield juga akan turun seiring dengan pemangkasan suku bunga.
"Yield yang relatif lebih tinggi terhadap negara-negara dengan peringkat sovereign di sekitar BBB, menarik bagi asing untuk dikoleksi," katanya, Kamis (19/12/2024).
Menurutnya peringkat sovereign Indonesia yang saat ini BBB+ masih terjaga di investment grade, membuat pasar domestik tetap berada di radar investor asing.
Dia menjelaskan bahwa penghindaran risiko (risk averse) investor akan tetap tinggi di tengah ketidakpastian kebijakan ekonomi, menyusul dimulainya kebijakan Trump 2.0 dan risiko geopolitik, membuat surat utang pemerintah tetap menjadi favorit.
Selain itu, menurutnya kenaikan pendapatan pemerintah terutama dari pajak, bisa menjadi pertahanan atau buffer untuk menjaga defisit agar tidak melebar, yang pada akhirnya berdampak pada rencana penerbitan surat utang.
Meski begitu, dia juga melihat beberapa faktor negatif terhadap prospek obligasi di 2025, di antaranya risiko ketidakpastian kebijakan di era Trump 2.0, dengan kebijakan pro-pertumbuhan akan membuat yield lebih kaku untuk turun, sementara penerapan tarif akan memicu pembalasan dari negara lain.
Selain itu, faktor negatif lainnya, yaitu risiko geopolitik karena perang belum usai, dan yang terbaru, pemerintahan Putin menaikkan anggaran pertahanannya secara signifikan yang mendorong investor lebih menghindari risiko (risk averse) dan menghindari aset-aset di negara berkembang.
"Inflasi di AS lebih kaku akibat kebijakan pro-pertumbuhan Trump 2.0, membuat yield di AS turun tapi lebih gradual, yang pada akhirnya berdampak pada pricing yield di Indonesia," katanya.
Lalu, menurutnya rupiah masih relatif rentan di tengah risiko eksternal dan kembali munculnya fenomena “strong dollar” atau penguatan nilai dollar AS, meningkatkan risiko translasi dan mengurangi fleksibilitas Bank Indonesia (BI) dalam menjalankan kebijakan moneter.
Dia mengatakan bahwa subtitusi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dengan suku bunganya yang lebih tinggi daripada surat utang pemerintah, mendorong investor untuk meminta imbal hasil tinggi pada surat utang pemerintah karena keduanya sama-sama bebas risiko.
Dia mengatakan terkait dengan penerbitan surat utang pemerintah, tingginya kebutuhan penerbitan surat utang terutama disebabkan oleh defisit anggaran dan jatuh tempo yang lebih besar.
Menurutnya, tingginya penerbitan didorong oleh defisit anggaran yang lebih besar, dengan nominal yang naik dari Rp522,83 triliun pada 2024 menjadi Rp616,19 triliun pada 2025.
Selain itu, beban fiskal menjadi lebih besar seiring dengan program baru pemerintah seperti Program Makan Bergizi Gratis bagi anak-anak dan ibu hamil, serta program prioritas lainnya yang menyedot banyak anggaran.
Kemudian menurutnya penambahan jumlah Kementerian dan Lembaga Negara juga berkontribusi pada peningkatan beban fiskal di tahun depan. Lalu, faktor lain bagi tingginya penerbitan surat utang oleh pemerintah adalah angka jatuh tempo yang tinggi.
"Angka jatuh tempo surat utang pemerintah di tahun depan mencapai Rp721,08 triliun [data per akhir September 2024], jauh lebih tinggi daripada Rp433,49 triliun pada tahun ini. Sebagai hasilnya, kebutuhan refinancing oleh pemerintah di tahun depan juga akan tinggi," katanya.
Terakhir, dia menjelaskan terkait dengan sentimen Trump 2.0, secara umum berkaca dari Trump 1.0, kinerja pasar saham dan pasar surat utang juga terkoreksi.
"Hanya saja, eksposurnya lebih besar terhadap pasar saham, karena berdampak pada prospek pertumbuhan ekonomi dan perdagangan global menjadi tidak pasti akibat perang dagang," tambahnya.