Puan Minta Pemerintah Siapkan Mitigasi Dampak Kenaikan PPN 12%
Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah untuk mengantisipasi dampak yang akan terjadi dengan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Ia juga berpesan agar kenaikan pajak harus digunakan untuk peningkatan pelayanan bagi rakyat.
"Kami memahami tujuan kenaikan PPN untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi defisit anggaran. Namun pemerintah harus memperhatikan dampak yang akan muncul dari kebijakan tersebut," kata Puan dalam keterangan tertulis, Kamis (19/12/2024).
Puan menilai kenaikan PPN 12% memang sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, ia meminta pemerintah mendengarkan masukan dari berbagai kalangan, termasuk para pakar, terhadap potensi yang bisa ditimbulkan dari kebijakan itu.
"UU HPP juga mengamanatkan pemerintah dapat mengusulkan penurunan tarif PPN di mana UU HPP menjelaskan PPN yang berlaku pada tahun 2025 adalah sebesar 12 persen. Kita harus cermat dalam memperhatikan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi," paparnya.
"Karena masih ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat memperburuk keadaan bagi kelas menengah dan pelaku usaha kecil," lanjut Puan.
Sebelumnya, pemerintah telah menegaskan PPN 12% akan dikenakan pada kelompok barang mewah yang sebelumnya dibebaskan PPN. Kenaikan tarif PPN juga tidak berlaku pada semua sektor, apalagi di sektor konsumsi rumah tangga.
Meski begitu, berbagai pakar menilai kebijakan tersebut dapat menyebabkan berbagai persoalan ekonomi. Hal yang sama pun pernah terjadi saat adanya kenaikan PPN di tahun-tahun sebelumnya seperti pada 2022.
Puan mengungkapkan sektor konsumsi rumah tangga secara umum juga dinilai tetap akan terdampak, terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan menengah.
Kenaikan tarif PPN pun diprediksi memicu inflasi pada barang konsumsi harian, seperti pakaian, perlengkapan kebersihan, dan obat-obatan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi banyak keluarga.
"Dampak bisa terjadi kepada masyarakat ketika produsen dan pelaku usaha menaikkan harga produk secara antisipatif sehingga memicu inflasi naik semakin tinggi. Ini yang harus diantisipasi," ucap Puan.
Pengeluaran Kelas Menengah & Keluarga Miskin Diprediksi Meningkat
Berdasarkan simulasi dari Center of Economics and Law Studies (Celios), kelas menengah diprediksi mengalami penambahan pengeluaran hingga Rp 354.293 per bulan atau Rp 4,2 juta per tahun dengan adanya kenaikan PPN.
Sementara keluarga miskin diprediksi menanggung kenaikan pengeluaran hingga Rp 101.880 per bulan atau Rp 1,2 juta per tahun, sedangkan kelompok rentan akan menghadapi penambahan pengeluaran sebesar Rp 153.871 per bulan. Meski pemerintah memberikan insentif untuk masyarakat kelompok rentan, Puan meminta adanya solusi jangka panjang.
"Kita harus memahami kondisi rakyat, jangan sampai dengan kenaikan PPN ini malah membuat perekonomian rakyat semakin sulit," tuturnya.
"Dengan dinamika ekonomi yang ada saat ini, banyak masyarakat yang sudah tertekan. Tak sedikit yang lalu akhirnya terjerumus pada pinjaman online (pinjol) dengan bunga tak masuk akal. Kita berharap tak ada lagi tambahan tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat," sambung Puan.
Menurut Puan, penurunan daya beli di tingkat rumah tangga yang akan turun akibat kenaikan PPN diprediksi akan menurunkan konsumsi domestik hingga 0,37% atau Rp 40,68 triliun, yang akhirnya dapat menggerus produk domestik bruto (PDB) hingga Rp 65,33 triliun. Ia pun mengkhawatirkan kondisi ini dapat memperburuk ketimpangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin.
Puan menyampaikan sektor usaha juga disebut tak luput dari dampak kenaikan PPN. Industri manufaktur, UMKM, dan sektor padat karya berpotensi akan menghadapi penurunan permintaan akibat turunnya daya beli masyarakat. Pada akhirnya, roda ekonomi di sektor riil berpotensi melambat yang dikhawatirkan memicu gelombang PHK di tahun-tahun mendatang.
Untuk itu, ia berharap pemerintah menyiapkan langkah-langkah lanjutan untuk menghadapi berbagai tantangan yang akan timbul akibat kenaikan PPN 12% meskipun pemerintah berencana memberikan insentif perpajakan senilai Rp 445 triliun dengan sasaran penerima manfaat adalah UMKM, dunia usaha, dan rumah tangga.
"Sektor padat karya seperti industri tekstil sudah mengalami pelemahan selama beberapa waktu terakhir. Semoga kenaikan PPN ini tidak memperparah keadaan," ujarnya.
Dalam kebijakan kenaikan PPN, pemerintah memberikan pengecualian untuk barang-barang kebutuhan pokok (sembako) dan jasa tertentu. Di sisi lain, barang-barang seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, serta jasa pendidikan dan kesehatan tidak akan dikenakan PPN.
Walaupun begitu, Puan mengatakan kenaikan harga diprediksi tetap akan terjadi karena efek turunan dan interkonektivitas rantai pasok pangan yang membebani pengusaha. Pasalnya, PPN bersifat multistage tax atau dikenakan ke setiap jenjang rantai produksi dan distribusi.
"Pemerintah harus memiliki langkah antisipasinya apabila kenaikan harga bahan pokok terjadi akibat kenaikan PPN," imbaunya.
Mantan Menko PMK ini pun mendukung langkah pemerintah yang berencana menerapkan paket stimulus ekonomi guna menjaga daya beli masyarakat dan mencegah lonjakan harga yang tidak terkendali. Namun, ia mengingatkan pentingnya stimulus juga diberikan pada sektor-sektor industri kerakyatan.
"Kita harus bisa memastikan semua sektor dapat terlindungi dengan adanya kenaikan PPN. Apalagi bagi sektor UMKM dan industri padat karya agar kenaikan PPN tidak menimbulkan dampak yang signifikan dan menggerus kehidupan masyarakat," jelas Cucu Bung Karno tersebut.
Adapun pemerintah telah menjelaskan bahwa pada tahun 2025 ada sejumlah program yang diarahkan untuk menjaga daya beli masyarakat, baik kelompok masyarakat tidak mampu dan kelompok masyarakat rentan.
Puan menjelaskan DPR melalui komisi terkait akan mengevaluasi apakah program penopang daya beli bagi masyarakat serta insentif perpajakan yang diberikan akan efektif dalam menjaga derajat kesejahteraan masyarakat.
Ia juga mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan yang memprioritaskan kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
"Pemerintah harus semakin efektif dalam menjalankan kebijakan ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas serta pelayanan publik yang semakin baik," pesan Puan.
"Sehingga rakyat merasakan bahwa pajak yang dibayarkan memberikan manfaat yang baik bagi peningkatan pelayanan umum seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan lain-lain," pungkasnya.
Simak Video Komisi XI DPR Sebut PPN 12% Berpotensi Timbulkan Keributan di Masyarakat
[Gambas Video 20detik]