Pulang Tanpa Jera: Risiko Kebijakan dalam Perang Melawan Narkoba
KEBIJAKAN Presiden Prabowo Subianto yang memutuskan untuk memulangkan Mary Jane, terpidana mati asal Filipina, dan anggota Bali Nine, sindikat narkoba asal Australia, ke negara masing-masing menimbulkan polemik yang tidak bisa diabaikan.
Kita tentu perlu menyikapi kebijakan ini dengan bijak. Namun, itu bukan berarti kita harus menutup mata terhadap implikasi serius yang dapat merusak tatanan hukum dan moral bangsa.
Melalui lensa ilmu kriminologi, khususnya Teori Pencegahan Umum atau General Deterrence Theory, kebijakan ini layak untuk dikritisi secara akademis dan praktis.
ANTARA FOTO via BBC INDONESIA Warga negara Filipina terpidana mati kasus narkotika Mary Jane Veloso (tengah) menyapa wartawan setelah keluar dari Lapas Perempuan Kelas IIA Pondok Bambu di Jakarta, Selasa (17/12/2024).Teori Pencegahan Umum, yang pertama kali diperkenalkan oleh Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham di abad ke-18, menegaskan bahwa hukuman harus mampu menanamkan rasa takut di benak masyarakat agar mereka berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan.
Prinsip dasar teori ini adalah bahwa ancaman hukuman yang pasti dan berat akan menciptakan efek jera (deterrence) yang melindungi masyarakat secara luas.
Dalam konteks Indonesia, hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkotika telah lama menjadi simbol ketegasan negara dalam melindungi generasi muda dari ancaman narkoba yang merusak.
Namun, keputusan untuk memulangkan Mary Jane dan anggota Bali Nine justru berpotensi merusak efek jera yang selama ini coba dibangun.
Kebijakan ini, alih-alih menegaskan komitmen negara terhadap penegakan hukum, malah memberikan kesan bahwa hukuman bisa dinegosiasikan dan disiasati melalui tekanan diplomatik.
Ini bukan hanya melemahkan otoritas hukum Indonesia, tetapi juga mengirimkan sinyal yang keliru kepada calon pelaku kejahatan lainnya.
Prabowo berdalih bahwa keputusan ini diambil untuk memperkuat hubungan diplomatik dengan Filipina dan Australia serta menunjukkan sisi humanis Indonesia di mata internasional.
Namun, mari kita telisik lebih dalam, apakah alasan ini cukup kuat untuk mengorbankan kedaulatan hukum dan prinsip penegakan keadilan yang telah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan?
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika secara eksplisit menyatakan bahwa kejahatan narkotika adalah kejahatan luar biasa yang memerlukan pendekatan tegas dan tanpa kompromi.
Mengabaikan putusan hukum yang telah berkekuatan tetap (inkracht) bukan hanya mencederai hukum, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Lebih jauh, dari perspektif kriminologi, kebijakan ini berpotensi menciptakan efek domino yang merugikan.
General Deterrence Theory mengajarkan bahwa hukuman berat seperti hukuman mati memiliki dua fungsi utama menghukum pelaku dan memperingatkan masyarakat luas agar tidak melakukan pelanggaran serupa.
Jika hukuman tersebut justru dikompromikan, maka fondasi efek jera yang telah dibangun selama ini akan runtuh. Para bandar dan pengedar narkoba akan merasa memiliki celah untuk menghindari hukuman melalui jalur diplomasi atau politik.
Kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi penegakan hukum di Indonesia. Bagaimana mungkin negara yang selama ini dikenal keras terhadap kejahatan narkotika tiba-tiba melunak hanya demi menjaga hubungan diplomatik?
Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa Indonesia masih menjadi salah satu target utama perdagangan narkoba di Asia Tenggara.
Dengan situasi ini, kebijakan yang melemahkan hukuman berat justru berisiko memperburuk masalah ketimbang menyelesaikannya.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap dampak sosial yang diakibatkan oleh keputusan ini. Di satu sisi, keluarga korban penyalahgunaan narkoba akan merasa dikhianati oleh negara yang seharusnya melindungi mereka.
Di sisi lain, masyarakat umum akan mulai mempertanyakan efektivitas hukum yang ada, sehingga kepercayaan terhadap institusi penegak hukum bisa terkikis. Ini bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal legitimasi dan kredibilitas hukum itu sendiri.
Tentu kita memahami bahwa diplomasi internasional dan hubungan bilateral memang penting. Namun, dalam kasus ini, pertanyaannya adalah, apakah kepentingan diplomatik sebanding dengan risiko hukum dan sosial yang ditimbulkan?
Menyeimbangkan pendekatan humanis dengan efek jera seharusnya tidak dilakukan dengan cara mengorbankan prinsip keadilan dan supremasi hukum.
Sebagai solusi, pemerintah sebaiknya mencari jalan tengah yang tidak merusak tatanan hukum nasional.
Misalnya, kerja sama internasional dapat difokuskan pada penguatan sistem rehabilitasi dan pengawasan terhadap pelaku kejahatan narkotika tanpa mengabaikan hukuman yang telah ditetapkan oleh pengadilan.
Pendekatan ini tidak hanya menjaga citra humanis di mata dunia, tetapi juga mempertahankan efek jera yang sangat dibutuhkan dalam perang melawan narkoba.
Akhir kata, kita harus tetap waspada dan kritis terhadap kebijakan semacam ini. Jangan sampai niat baik untuk memperkuat diplomasi justru menjadi bumerang yang melemahkan penegakan hukum dan membahayakan keamanan nasional.
Dalam menghadapi kejahatan narkotika, ketegasan adalah kunci, dan kebijakan yang terlalu lunak hanya akan memberikan ruang bagi para pelaku kejahatan untuk terus merajalela.
Mari kita jaga integritas hukum dan kedaulatan bangsa dengan tetap mengedepankan keseimbangan antara kemanusiaan dan keadilan.