Racikan Investasi Perusahaan Asuransi Kala Ekspektasi Penurunan Suku Bunga The Fed
Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mengungkap arah investasi industri asuransi jiwa seiring ekspektasi penurunan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) pada 2025 serta dinamika pasar global pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
Kondisi ini mendorong perusahaan asuransi jiwa untuk menyesuaikan alokasi portofolio investasi mereka agar tetap selaras dengan liabilitas dan produk yang ditawarkan.
Ketua Bidang Bisnis Syariah AAJI Paul Kartono mengatakan bahwa dana perusahaan yang digunakan untuk mendukung polis-polis tradisional dapat dialokasikan ke instrumen seperti surat berharga negara (SBN) atau obligasi sukuk korporasi. Langkah ini bertujuan agar terdapat kesesuaian antara jatuh tempo produk asuransi dengan jatuh tempo investasi sehingga pengelolaan aset dan kewajiban perusahaan dapat berjalan dengan lebih optimal.
“Dana perusahaan yang untuk nge-backup polis-polis yang tradisional, itu bisa tetap ke SBN, atau ke obligasi, sukuk korporasi, sehingga bisa matching, antara jatuh tempo produknya, dengan jatuh tempo dari investasinya,” ujarnya dalam paparan kinerja asuransi jiwa per kuartal III/2024 pada Jumat (29/12/2024).
Untuk produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) atau unit linked, pemegang polis memiliki hak untuk melakukan switching yaitu memindahkan investasi mereka ke instrumen yang dianggap lebih sesuai dengan kondisi pasar.
Paul menekankan pentingnya bagi pemegang polis untuk secara rutin memantau portofolio mereka agar dapat mengambil keputusan yang tepat.
“Dari produk-produk unit link, para pemegang polis wajib untuk melihat portofolionya secara berkala. Jadi mereka bisa melakukan switching ke instrumen-instrumen yang lebih cocok. Atau misalnya, sekarang equity lagi kurang baik, bisa switching ke yang balance fund atau yang fixed income. Tapi pada saat equity itu juga sudah bertumbuh, bisa kembali ke equity,” katanya.
Saat ini, Paul menyebut beberapa perusahaan telah mengalihkan fokus investasi mereka dari instrumen ekuitas ke SBN. Dia menyebut perubahan strategi ini sejalan dengan pergeseran komposisi premi asuransi jiwa dari produk unit linked ke produk tradisional.
“Yang penting itu adalah bahwa investasi itu matching atau sesuai dengan portofolio dari liabilitasnya, dari kewajibannya, atau dari produknya. Jadi, itu yang dilakukan oleh para perusahaan, sehingga menurut saya sekarang sudah tepat,” katanya.
Paul juga menekankan pentingnya penyesuaian investasi dengan fundamental ekonomi Indonesia. Menurutnya, meskipun terdapat isu global, seperti kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump yang mencakup pencetakan uang dan suku bunga yang tidak diturunkan, hal tersebut hanya memberikan dampak sementara.
Dia menambahkan bahwa yang lebih penting adalah fundamental ekonomi Indonesia yang cukup kuat, sehingga memungkinkan untuk tetap berinvestasi pada instrumen yang sesuai dengan kewajiban perusahaan.
Sementara itu, Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA), Abitani Taim, menyebut bahwa penurunan suku bunga The Fed akan membawa dampak positif pada ekonomi global, termasuk Indonesia.
“Penurunan tingkat bunga The Fed akan berimbas pada bergairahnya perekonomian dunia termasuk Indonesia, di mana capital inflow ke Indonesia akan meningkat. Perusahaan asuransi lebih memilih investasi obligasi karena strategi investasi dan risk appetite-nya,” ungkapnya.
Per kuartal III/2024, total aset industri asuransi jiwa mencapai sebanyak Rp630,12 triliun. Angka tersebut tumbuh 3,2% apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2023.
Dari total aset tersebut, 87,8% berupa investasi dengan nilai Rp553,53 triliun. Nilai tersebut mana naik 3,7% secara tahunan (year on year/yoy) dari Rp534 triliun pada September 2023. Penempatan investasi terbesar industri asuransi jiwa berada di instrumen SBN dengan total kontribusi mencapai 37,2% dari total aset investasi secara keseluruhan.
Investasi pada instrumen SBN tercatat sebanyak Rp205,66 triliun, meningkat sebanyak 28,3% Namun, beberapa instrumen investasi mengalami penurunan, seperti deposito yang turun 7,1% menjadi Rp34,59 triliun dan saham yang turun 7,5% menjadi Rp144,91 triliun.
Sebaliknya, investasi pada obligasi korporasi naik 6,4% menjadi Rp46,5 triliun, sementara penyertaan langsung tumbuh signifikan sebesar 12,8% menjadi Rp27,75 triliun.