Rasionalitas Evaluasi Pilkada dan Pelibatan Akademisi
Pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota akan dilakukan oleh DPRD. Wacana ini muncul di tengah carut marutnya pelaksanaan Pilkada 2024 dan tingginya biaya penyelenggaraan, sehingga semakin memperkuat gagasan agar gubernur, bupati, dan wali kota dipilih oleh DPRD. Presiden Prabowo Subianto pun memberikan tanggapan positif terkait usulan tersebut. Sejumlah partai politik pun mulai mengambil langkah untuk mengkaji dan mempersiapkan implementasi usulan ini.Wacana ini muncul bukan hanya disebabkan oleh tingginya biaya penyelenggaraan dan mahalnya ongkos politik yang harus ditanggung oleh para kandidat, tetapi juga karena sistem pemilihan langsung cenderung memperburuk polarisasi dan memicu konflik sosial di tengah masyarakat akibat perbedaan pilihan politik. Salah satu contoh konkret dari dampak negatif tersebut adalah peristiwa di Kabupaten Sampang, yang berujung pada jatuhnya korban jiwa sebagai akibat dari pemilihan langsung. Oleh karena itu, evaluasi terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah kembali mengemuka, mengingat dampak sosial yang ditimbulkan tidak dapat dianggap remeh. Selain itu, pilkada langsung juga rentan terhadap praktik politik transaksional yang mencederai prinsip-prinsip dasar demokrasi.Risiko Konflik
Demokrasi langsung, khususnya pilkada langsung, memiliki risiko konflik yang berkaitan erat dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Di daerah dengan IPM yang tinggi, seperti di perkotaan, proses pemilihan umumnya berlangsung lebih kondusif dan terkendali. Namun, di daerah dengan IPM yang masih rendah, kesiapan untuk melaksanakan pilkada langsung sering kali belum memadai, sehingga meningkatkan potensi terjadinya konflik sosial. Konflik yang muncul tidak hanya berdampak pada stabilitas sosial, tetapi juga berpengaruh terhadap efektivitas pemerintahan selanjutnya. Kondisi ini sering menyebabkan masyarakat dan kinerja pemerintahan masih terbawa suasana pasca-konflik. Konsep pilkada langsung harus disertai dengan kesiapan masyarakat sebagai prasyarat utama. Kesiapan yang dimaksud dalam konteks penyelenggaraan pesta demokrasi ini mencakup tingkat IPM yang sudah memadai. Tanpa kesiapan tersebut, Indonesia akan menghadapi kesulitan dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas.Kualitas pemimpin yang dihasilkan melalui pilkada langsung sangat dipengaruhi oleh kesiapan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Di daerah dengan IPM yang rendah, proses pemilihan cenderung dipengaruhi oleh faktor emosional, sentimen, atau propaganda, sehingga mengesampingkan pertimbangan rasional terkait visi, misi, dan program kerja calon pemimpin. Akibatnya, hasil pemilihan tersebut berpotensi menghasilkan pemimpin dengan kualitas yang tidak optimal dalam memenuhi kebutuhan pembangunan masyarakat.Perlu dicatat bahwa sistem pemilihan langsung bagi seseorang yang ingin mencalonkan diri pemimpin membutuhkan modal yang sangat besar. Modal tersebut mencakup biaya untuk konsolidasi politik, pemberdayaan relawan, serta berbagai upaya pemenangan, seperti melalui media sosial, baliho, dan spanduk. Dalam pemilihan langsung, strategi semacam ini dianggap penting untuk meningkatkan popularitas dan peluang kemenangan calon kepala daerah. Selain itu, terdapat pula biaya tambahan untuk membiayai saksi di tempat pemungutan suara. Bahkan, dalam beberapa kasus, praktik politik uang yang tidak etis dapat terjadi sebagai upaya mempengaruhi preferensi pemilih.Pemilu langsung pada hakikatnya merupakan salah satu warisan dari gerakan reformasi tahun 1998, yang mengamanatkan terciptanya transparansi dalam kelembagaan dan praktik politik. Reformasi juga bertujuan mendorong pemimpin untuk lebih responsif terhadap aspirasi serta kebutuhan masyarakat dengan menempatkan kedaulatan rakyat sebagai prinsip utama dalam sistem demokrasi. Namun, ketika dinamika mulai muncul dalam pelaksanaannya yang berujung pada konflik hingga berpotensi mengancam keutuhan dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sudah sewajarnya mekanisme ini dievaluasi kembali untuk menemukan formulasi yang paling tepat bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Diskursus mengenai pemilihan kepala daerah melalui DPRD tidak dapat serta-merta dianggap sebagai ide yang buruk. Ide gagasan ini muncul sebagai respons terhadap berbagai dinamika, termasuk potensi konflik sosial yang kerap terjadi selama pelaksanaan Pilkada 2024. Selain itu, tingginya biaya penyelenggaraan yang mencapai puluhan triliun rupiah, namun sering tidak sebanding dengan kualitas hasil yang diharapkan, menunjukkan perlunya evaluasi terhadap sistem pemilu langsung. Oleh karena itu, memilih kepala daerah melalui lembaga DPRD menjadi alternatif yang paling rasional dalam mengatasi permasalahan tersebut. Pendekatan ini dianggap sebagai opsi terbaik, mengingat pertimbangan lainnya, yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang masih rendah, ditambah dengan tingkat literasi yang juga belum memadai. Opsi Terbaik
Jika ingin pemilihan langsung oleh rakyat tetap dipertahankan, maka perbaikan IPM dan peningkatan literasi menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan demokrasi yang lebih berkualitas. Namun, dengan posisi Indonesia yang berada di peringkat 100 dalam literasi, di bawah Filipina, Singapura, dan Brunei, Indonesia terutama di beberapa daerah saat ini belum siap untuk melaksanakan pemilihan langsung secara efektif. Oleh karena itu, ide pemilihan kepala daerah oleh DPRD dianggap sebagai opsi terbaik untuk mengatasi permasalahan Pilkada 2024.Sistem pemilihan berbasis keterwakilan hingga kini masih menjadi isu bola panas di tengah masyarakat. Penolakan terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD muncul dari kalangan akademisi dan aktivis, dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi keberatan tersebut.
Alasan utama yang sering dikemukakan adalah kekhawatiran akan bangkitnya feodalisme dan oligarki, serta mempunyai kecenderungan proses pengambilan keputusan lebih elitis, sehingga mengabaikan peran penting masyarakat sipil (civil society) dalam demokrasi. Namun, kekhawatiran ini dapat diminimalkan mengingat perkembangan era digital yang semakin pesat. Media sosial dan media massa sebagai pilar demokrasi memainkan peran strategis dalam memantau kebijakan dan kinerja pejabat publik, sehingga transparansi dan akuntabilitas tetap dapat dijaga.Menjawab Keraguan
Untuk menjawab keraguan terkait penerapan sistem pemilihan berbasis keterwakilan, kalangan akademisi dan kelompok sosial masyarakat perlu dilibatkan. Selama ini, peran akademisi sering hanya bersifat simbolis, terutama menjelang pemilu, sementara setelahnya kontribusi mereka jarang dilibatkan secara substantif dalam proses pengambilan kebijakan oleh pemerintah dan politisi. Jika pemilihan kepala daerah menggunakan sistem keterwakilan, maka sudah sepatutnya kalangan akademisi, seperti dosen, rektor, dan kelompok sosial masyarakat, diberikan ruang yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam menentukan calon pemimpin yang akan diusung.Keterlibatan dari kelompok sosial masyarakat dan akademisi ini dianggap penting untuk menjawab tingkat IPM dan tingkat literasi masih rendah. Rendahnya IPM dan literasi, tanpa mengurangi nilai kedaulatan rakyat, dipandang sebagai bagian dari pendekatan yang lebih baik dalam memilih pemimpin. Dengan melibatkan individu-individu yang memiliki wawasan lebih luas, diharapkan kualitas pemimpin yang terpilih akan lebih baik dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara lebih efektif.Pada akhirnya, tidak ada sistem atau konsep yang sepenuhnya sempurna dalam proses pemilihan pemimpin, dan sulit bagi semua pihak cocok sistem pemilihan. Namun, mencegah kerusakan harus lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan. Jika prinsip ini dikaitkan dengan pemilu langsung, yang sering menimbulkan dampak negatif seperti kerusakan sistem, konflik antarpendukung, polarisasi sosial, serta biaya penyelenggaraan yang amat tinggi yang tidak sebanding dengan kualitas kepemimpinan yang dihasilkan, maka mekanisme pemilihan berbasis keterwakilan dapat dipandang sebagai alternatif yang lebih rasional dalam memilih pemimpin.Hamdan Muafi founder Lembaga Kajian Pinter Kampus