Remaja dan Bunuh Diri

Remaja dan Bunuh Diri

Di tengah hiruk pikuk politik pergantian estafet kepemimpinan baru nasional dari Presiden Jokowi ke presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto, masyarakat kita dihadapkan dengan kasus yang cukup memprihatinkan dan memilukan, yakni kasus bunuh diri. Akhir-akhir ini kasus bunuh atau percobaan bunuh diri di kota-kota besar seperti Surabaya dan Jakarta kecenderungannya semakin meningkat. Dari berbagai kasus tersebut, yang paling memprihatinkan adalah pelakunya masih usia belia, yakni usia remaja atau produktif. Dalam rentang waktu yang cukup berdekatan, pada awal Oktober 2024 terjadi dua kasus bunuh diri dengan usia yang sangat muda atau remaja. Satu kasus terjadi di Surabaya; seorang mahasiswa (RD) Universitas Kristen Petra ditemukan tewas bunuh diri dengan melompat dari lantai 12 gedung kampusnya. Menurut keterangan pihak kepolisian, korban diduga depresi.Satu pekan pascakasus di Surabaya, muncul di Jakarta. Seorang mahasiswa Universitas Tarumanegara, Jakarta Barat berinisial E (18) mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Cara yang dipakai mahasiswa baru 2024 tersebut hampir sama persis dengan yang dilakukan mahasiswa di Surabaya, yakni melompat dari gedung kampusnya.

Berdasarkan data Pusat Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, sebanyak 640 kasus bunuh diri terjadi pada Januari – Juli 2023. Jumlah ini meningkat sebesar 31,75 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni sebanyak 486 kasus. Adapun Jawa Timur menempati urutan kedua sebanyak 123 kasus, setelah Jawa Tengah sebanyak 241 kasus, dan urutan ketiga Bali dengan 60 kasus bunuh diri. Tingginya kasus bunuh diri di Jawa Timur harus menjadi renungan dan refleksi bagi kita semua, termasuk pemerintah provinsi dalam menjalankan program pembangunannya. Adalah sebuah paradoks dan anomali, ketika pemerintah provinsi mengklaim kinerja pembangunannya positif dan mendapat banyak penghargaan, tetapi di sisi lain pada cermin yang sama ada realitas sosial-masyarakat yang menyedihkan. Kasus percobaan bunuh diri yang dilakukan kalangan remaja cukup memprihatinkan. Hanya karena menghadapi persoalan-persoalan ‘sepele’ (seperti putus cinta), mereka nekat mengambil jalan pintas dengan cara bunuh diri. Bagian Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo, Surabaya pada 2028 pernah merilis 21 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri. Ironisnya, kasus percobaan bunuh diri ini banyak dilakukan oleh pelaku berusia 17 tahun hingga 27 tahun. Kalangan remaja yang nekat mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri mayoritas karena terbelit masalah dengan pacar dan selebihnya karena terlibat masalah dengan orangtua dan lingkungan pergaulan. Kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri yang dilakukan seseorang, termasuk kalangan remaja, dilatarbelakangi oleh permasalahan yang kompleks. Dengan kata lain, penyebab seseorang melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri sangat beragam, tidak saja karena faktor psikis, tapi juga sosiologis. Khusus untuk remaja, di antaranya kepribadian yang belum matang dan terjadinya alienasi sosial rentan mengambil jalan pintas ketika mengalami masalah.

Kajian SosiologisDalam kajian sosiologi, sosiolog Prancis, E. Durkheim, mengatakan bunuh diri bukan disebabkan masalah kemiskinan atau sakit jiwa, namun lebih karena renggang atau lepasnya ikatan-ikatan sosial yang kemudian menjadikan masyarakat mengalami disintegrasi. Nilai-nilai atau kesadaran kolektif yang menjadi panduan bermasyarakat mengalami pemudaran atau dalam teori Durkheim disebut anomie, yakni suatu situasi di mana nilai dan norma dalam masyarakat tetap ada, namun tidak lagi berfungsi untuk menjadi standard dan pedoman dalam bertingkah laku. Dalam konteks teori Durkheim, bunuh diri adalah salah satu bentuk dari penyimpangan perilaku. Durkheim ingin menunjukkan bagaimana bunuh diri itu terjadi atau dilakukan oleh seseorang, disebabkan oleh benturan dua kutub integrasi dan regulasi di mana kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan menyebabkan orang melakukan bunuh diri. Dalam teorinya, Durkheim membagi menjadi tiga. Pertama, Anomie Suicide, yakni bunuh diri yang disebabkan karena adanya kekacauan nilai dan norma dalam masyarakat (contoh kasus bunuh diri dalam kondisi masyarakat yang serba kacau).Kedua, Egoistic Suicide, yakni bunuh diri yang disebabkan karena kepentingan dirinya lebih berharga daripada kepentingan orang lain (contoh kasus bunuh diri karena berhutang atau ditinggal pacar). Ketiga, Altruisme Suicide, yakni bunuh diri yang disebabkan karena kepentingan orang lain/masyarakat lebih berharga daripada kepentingan dirinya (contoh, kasus sekte harakiri di Jepang)Para penganut teori social control mengatakan bahwa munculnya perilaku menyimpang atau lebih khusus "jalan pintas" yang terjadi dalam kasus bunuh diri remaja, lebih disebabkan karena lemahnya kontrol sosial dari lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, terutama institusi keluarga. Lembaga ini dinilai gagal dalam mengatur, mendisiplinkan, dan mengarahkan perilaku dan tindakan anggotanya, begitu juga dengan lembaga sosial di luar keluarga. Masyarakat cenderung memberikan "ruang gerak" kepada individu maupun kelompok untuk berperilaku menyimpang.

Selain itu, semakin menjamurnya perilaku dan budaya individualistik masyarakat yang berujung pada semakin renggangnya ikatan sosial di antara kita. Menurut Guru Besar Sosiologi Unair, (Alm) Soetandyo Wignjosoebroto, munculnya kasus bunuh diri lebih disebabkan karena permasalahan struktural yakni terjadinya disorganisasi kehidupan yang berimbas pada terdisintegrasinya –dalam tempo yang relatif cepat– institusi-institusi primer komunitas-komunitas lokal, dengan fungsi-fungsi yang tak segera bisa diambil-alih dan dilanjutkan oleh institusi-institusi penggantinya (yang seharusnya tumbuh-kembang dalam kehidupan urban-industrial). Sementara institusi-institusi keluarga kehilangan keterandalannya, institusi-institusi sekunder yang seharusnya tumbuh-kembang dalam kehidupan urban-industrial nyatanya tidak cukup terkelola dan terpelihara dengan baik untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosialisasi dan enkulturasi. Dengan demikian, ketidakutuhan atau disorganisasi ini yang kemudian menimbulkan gagalnya keluarga dalam memerankan peranannya sebagai agen atau institusi yang dapat memberikan kebutuhan sosial dan psikologis.

Kemapanan secara ekonomi yang dimiliki suatu keluarga tidak menjamin kebetahan anak dalam keluarga atau menjadikan akan tidak berperilaku menyimpang. Justru karena kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi –walaupun secara ekonomi terpenuhi– menjadikan anak berperilaku delinkuen, termasuk melakukan aksi bunuh diri atau percobaan bunuh diri.

Dalam konteks inilah, kendali agama merupakan aspek terpenting bagi seseorang untuk menghindarkan dari berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi. Unsur-unsur esensial dari agama yang terdiri dari nilai-nilai moralitas bisa dijadikan daya kendali seseorang dari perilaku menyimpang (baca bunuh diri). Bagi Durkheim, moralitas itu merupakan suatu aturan yang merupakan patokan bagi tindakan dan perilaku manusia (juga dalam berinteraksi). Selain faktor kedekatan diri dengan agama, faktor sosial, seperti membangun kebersamaan dan kepedulian sosial atas sesama adalah langkah solutif untuk mencegah bunuh diri.Umar Sholahudin dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Sumber