Remaja di Bogor Mengalami Perubahan Kelamin: Kronologi dan Penjelasan Medisnya
Kabar mengejutkan datang dari Kota Bogor, Jawa Barat. Seorang remaja berinisial TAP mengalami perubahan kelamin dari perempuan menjadi laki-laki.
Hal ini memicu rasa penasaran publik. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Bagaimana cerita awalnya? Dan apakah perubahan itu imbas dari jenis penyakit?
Simak ulasan yang dihimpun tim Kompas.com
TAP, seorang remaja asal Cibungbulang, Kabupaten Bogor, sejak lahir dinyatakan sebagai perempuan.
Karena itu, TAP dibesarkan seperti anak perempuan, menggunakan kerudung dan pakaian perempuan hingga kelas 9 SMP.
“Waktu lahirnya perempuan. Waktu SMP kelas 7, 8, 9 juga masih pakai kerudung, pakai androk,” kata ibunda TAP berinisial S kepada Kompas.com, Rabu (11/12/2024).
Namun, ibu TAP mulai khawatir ketika anaknya tidak juga menstruasi di usia pubertas.
"Saya ingin bawa dia ke puskesmas, tapi berpikir nanti juga dapat mens," ujar S.
Awalnya, ibu TAP menduga anaknya hanya mengalami keterlambatan, seperti kakaknya yang baru mendapatkan menstruasi di usia 15 tahun.
Kekhawatiran meningkat ketika ibu TAP memeriksa fisik anaknya saat mandi. Ia melihat kelamin TAP tampak seperti laki-laki.
Pada 23 Oktober 2024, TAP dibawa ke puskesmas untuk pemeriksaan medis.
Dokter kemudian menyatakan TAP sebenarnya berjenis kelamin laki-laki.
Ibu TAP terkejut mendengar pernyataan dokter bahwa anaknya laki-laki.
Sang ibu bersikukuh bahwa TAP dinyatakan sebagai perempuan saat lahir.
"Kata dokter, ini memang sudah laki-laki. Saya kaget, karena waktu lahir dia dinyatakan perempuan," tutur S.
Keluarga merasa bingung dan membutuhkan waktu untuk memahami kondisi TAP.
TAP sendiri menginginkan proses penyesuaian segera dilakukan agar ia bisa hidup sesuai identitas biologisnya.
Setelah pemeriksaan di puskesmas, TAP dirujuk ke beberapa rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Pemeriksaan melibatkan tes hormon dan kromosom. Hasilnya menunjukkan TAP membutuhkan serangkaian prosedur medis, termasuk operasi penurunan testis dan perbaikan saluran kemih.
“Untuk operasinya enggak sekali. Dua sampai tiga kali secara bertahap. Sekarang diturunin bijinya dulu, nanti kedua kalinya air kencing dipindahin,” kata S.
Operasi ini akan dilakukan secara bertahap, setidaknya dalam dua hingga tiga tahap.
Namun, keluarga TAP menghadapi kendala biaya. Pemeriksaan kromosom saja membutuhkan biaya Rp 8,5 juta.
Meski operasi dapat ditanggung BPJS, waktu antrean yang lama membuat keluarga berharap bantuan pemerintah untuk mempercepat tindakan medis.
S dan keluarga pun sudah menerima kondisi yang menimpa anaknya. Bahkan ia sudah menyiapkan beberapa nama baru untuk TAP.
"Awalnya memang enggak terima. Seminggu lah saya sama bapaknya enggak makan. Tapi, alhamdulillah sekarang sudah nerima. Dan bapaknya juga sudah siapkan nama untuk anak saya,” ujar S.
Menurut Dokter spesialis urologi, dr. Regi Septian M.Kes, Sp.U, kondisi TAP termasuk dalam kategori genitalia ambigu atau ambiguous genitalia, yang merupakan salah satu bentuk gangguan perkembangan genitalia (disorder of sexual development/DSD).
Dalam kasus TAP, ditemukan testis yang tidak turun dan bentuk kelamin yang membingungkan.
Kondisi ini sering kali membuat orangtua sulit mengenali jenis kelamin bayi saat lahir.
Dokter juga menjelaskan bahwa TAP mengalami hipospadia tipe berat, sebuah kelainan bawaan di mana lubang kencing tidak berada di tempat normal.
"Hipospadia derajatnya berbeda-beda dari ringan sampai berat. Hipospadia dapat juga dibarengi dengan gangguan lain, seperti penis bengkok maupun gangguan perkembangan testis dan buah zakar, yang dinamakan undescenses testis dan transposisi penoscrotal," jelas Regi.
"Gangguan yang kompleks dinamakan ambigous genitalia, inilah yang sering kali di masyarakat menjadi kasus yang dijabarkan sebagai pergantian kelamin. Salah satunya kasus di Bogor (kasus yang menimpa TAP) karena orangtua bingung membedakan apakah anaknya laki-laki atau perempuan," sambungnya.
Masih menurut Regi, perubahan kelamin seperti yang dialami TAP bukanlah penyakit, melainkan kelainan bawaan yang terjadi selama perkembangan janin.
Dalam kasus DSD, beberapa bayi terlihat seperti memiliki kelamin perempuan saat lahir, meskipun secara genetik laki-laki.
Deteksi dini melalui pemeriksaan medis dapat membantu mengenali kondisi ini lebih awal.
Menurut dokter, kondisi seperti ini cukup sering terjadi, terutama pada kasus hipospadia berat.
Oleh karena itu, pemeriksaan karyotipe (analisis kromosom) sangat penting sebelum dilakukan tindakan medis, seperti operasi rekonstruksi kelamin.
Kesimpulannya, kasus TAP menunjukkan pentingnya deteksi dini dan pemahaman terhadap kondisi DSD.
Dengan penanganan medis yang tepat, TAP diharapkan dapat menjalani hidup sesuai identitas biologisnya. Keluarga berharap bantuan pemerintah dapat meringankan beban biaya yang mereka hadapi.