Remaja, Tiktok, dan Kesehatan Mental
Tiktok merupakan salah satu media sosial yang banyak digunakan masyarakat Indonesia. We Are Social pada 2024 menunjukkan bahwa pengguna Tiktok di Indonesia mencapai 73,5% dari total pengguna internet. Warga Indonesia rata-rata menghabiskan 38 jam 26 menit per bulan untuk bermain Tiktok. Masifnya penggunaan Tiktok di Indonesia ini didukung dengan pernyataan bahwa 58% warga Indonesia memilih menggunakan media sosial untuk mengisi waktu luang. Tiktok mengandalkan konten singkat (video berdurasi 15-60 detik). Hal ini menarik audiens yang cenderung memiliki span atensi yang rendah. Format ini membuat konten mudah dikonsumsi dalam waktu singkat, membuat pengguna Tiktok terus bertambah. Tiktok juga memiliki algoritma yang kuat. Aplikasi ini mempelajari preferensi pengguna dengan menampilkan video yang mereka sukai sehingga membuat mereka terus kembali untuk melihat lebih banyak konten serupa. Namun, penggunaan Tiktok tidak selamanya positif. Berdasarkan penelitian Mardiana dan Maryana (2024), terdapat hubungan antara lama penggunaan Tiktok dengan kesehatan mental, yakni stres dan gangguan kecemasan. Menurut penelitian tersebut, sekitar 60-70% remaja yang sering menggunakan Tiktok tercatat mengalami stres dan gangguan kecemasan.
Perbandingan Sosial yang Tidak Sehat Para remaja seringkali memiliki kecenderungan membandingkan diri mereka dengan orang lain berdasarkan konten yang mereka lihat di platform tersebut. Hal ini bisa berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional seseorang. Tiktok, seperti media sosial lainnya, sering menampilkan cuplikan kehidupan terbaik seseorang, seperti gaya hidup mewah, penampilan fisik yang ideal, pencapaian, atau popularitas. Beberapa ciri perbandingan sosial yang tidak sehat di Tiktok yang sering terjadi di kalangan remaja seperti merasa tidak cukup baik, pengguna merasa rendah diri karena tidak bisa mencapai standar yang ditampilkan dalam konten orang lain. Mengalami iri hati atau kecemburuan yang memunculkan rasa iri terhadap kesuksesan, kecantikan, atau kehidupan orang lain yang tampak sempurna. Tertekan untuk mengikuti tren, dorongan untuk mengikuti tren yang populer agar diterima oleh komunitas, meskipun itu bertentangan dengan nilai atau kenyamanan pribadi. Mengejar validasi membandingkan jumlah like, komentar, atau follower dengan orang lain untuk mengukur nilai diri. Mengabaikan realitas atau lupa bahwa sebagian besar konten di Tiktok telah diedit, dirancang, atau difilter sehingga tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan. Perbandingan sosial semacam ini dapat menyebabkan stres, kecemasan, rasa tidak percaya diri, bahkan gangguan citra tubuh (body image issues). Jika tidak ditangani, ini dapat mengganggu kesehatan mental seseorang secara keseluruhan
Gangguan Pola TidurGangguan pola tidur karena Tiktok adalah fenomena di mana seseorang mengalami kesulitan tidur atau kualitas tidur yang buruk akibat terlalu banyak menghabiskan waktu menggunakan aplikasi Tiktok, terutama menjelang waktu tidur. Hal ini sering dikaitkan dengan doomscrolling yang menyebabkan waktu tidur terpotong, serta dampak negatif dari paparan layar gawai terhadap ritme sirkadian tubuh. Paparan cahaya biru yang dipancarkan oleh layar ponsel yang dapat menekan produksi melatonin, hormon yang mengatur tidur. Video pendek yang menarik atau lucu bisa memicu rasa ketagihan dan membuat sulit berhenti, sehingga waktu tidur terabaikan. Algoritma Tiiktok yang dirancang untuk mempertahankan perhatian dapat membuat pengguna terus menggulir tanpa sadar waktu.
Tekanan untuk DiterimaTekanan untuk diterima dalam Tiktok di kalangan remaja adalah perasaan atau kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan, validasi, atau penerimaan dari teman sebaya atau komunitas Tiktok. Fenomena ini sering muncul karena sifat media sosial, termasuk Tiktok, yang sangat bergantung kepada like, komentar, share, dan jumlah follower sebagai indikator popularitas atau keberhasilan. Remaja sering membandingkan diri mereka dengan kreator populer atau teman sebaya yang terlihat lebih "sukses" di Tiktok. Banyak pengguna merasa tekanan untuk diterima karena sistem like, view, dan komentar yang menjadi ukuran popularitas. Ketika sebuah video tidak mendapatkan perhatian, ini dapat membuat seseorang merasa kurang dihargai atau bahkan tidak relevan. Standar konten yang tinggi sering menampilkan tren yang didominasi oleh konten kreatif, menarik, dan terkadang mahal untuk diikuti. Pengguna sering merasa harus mengikuti tren ini, seperti membeli pakaian tertentu, menggunakan lagu viral, atau membuat konten dengan efek yang rumit, hanya untuk merasa diterima di komunitas. Platform ini memungkinkan interaksi antar pengguna, termasuk teman sebaya. Tekanan untuk diterima sering muncul dari kebutuhan untuk menunjukkan diri dan terhubung dengan tren yang sedang populer di kalangan tema. Ketegangan untuk terus relevan dapat menyebabkan kelelahan kreatif dan menurunkan rasa percaya diri, banyak yang merasa bersaing secara tidak sehat dengan pengguna lain yang memiliki lebih banyak pengikut atau keterampilan teknis yang lebih baik.Eksploitasi Emosi Eksploitasi emosi di Tiktok merujuk pada praktik memanfaatkan perasaan atau emosi audiens untuk mendapatkan perhatian, like, view, atau popularitas. Hal ini sering dilakukan dengan cara memancing reaksi emosional, baik berupa rasa simpati, haru, tawa, atau bahkan kemarahan. Eksploitasi emosi ini dapat menjadi alat yang sangat efektif, tetapi juga sering dipandang kontroversial karena dapat dianggap manipulatif atau tidak tulus. Contoh eksploitasi emosi di Tiktok; pertama, konten berbasis simpati. Membuat cerita yang menyedihkan atau dramatis untuk menarik simpati audiens, meskipun kisah tersebut tidak selalu sepenuhnya benar. Kedua, menggunakan anak atau hewan peliharaan. Menampilkan anak kecil atau hewan dalam situasi tertentu untuk memanfaatkan daya tarik emosional mereka. Ketiga, membesar-besarkan atau memalsukan konflik pribadi, seperti pertengkaran keluarga atau hubungan, agar terlihat lebih menarik.Keempat, memanfaatkan isu sosial atau kemanusiaan. Menggunakan isu-isu serius seperti kemiskinan, kesehatan mental, atau bencana alam tanpa niat tulus untuk membantu, hanya untuk mendapatkan engagement. Eksploitasi emosi sesuatu fenomena yang sulit dihindari, tetapi dengan kesadaran dan regulasi yang lebih baik dampaknya dapat diminimalkanOver-stimulus dan Penurunan FokusOver-stimulasi dan penurunan fokus pada remaja pengguna Tiktok adalah efek yang sering terjadi akibat penggunaan platform secara berlebihan. Over-stimulasi mengacu pada kondisi ketika otak menerima terlalu banyak rangsangan dalam waktu singkat, sehingga sulit memproses informasi secara efektif. Tiktok menampilkan video berdurasi pendek dengan konten yang dirancang untuk menarik perhatian secara cepat melalui efek visual, musik, dan cerita yang intens yang menyebabkan otak menjadi terlalu sering terpapar rangsangan sehingga sulit untuk beristirahat. Kegiatan ini juga memicu pelepasan dopamin (hormon kesenangan) setiap kali pengguna menemukan konten yang menyenangkan, menyebabkan kecanduan yang menyebabkan remaja menjadi lebih mudah bosan terhadap aktivitas lain yang tidak memberikan rangsangan tinggi seperti Tiktok. Durasi konten yang pendek membuat otak terbiasa dengan pola konsumsi informasi yang cepat dan berganti-ganti. Kebiasaan scrolling yang terus-menerus mengurangi kapasitas otak untuk fokus pada tugas yang lebih panjang atau kompleks. Hal tersebut juga dapat membuat seseorang kesulitan belajar di mana remaja mungkin kesulitan fokus saat membaca, mendengarkan guru, atau mengerjakan tugas yang membutuhkan konsentrasi mendalam. Penelitian menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap media pendek seperti Tiktok dapat menurunkan rentang perhatian (attention span). Remaja cenderung lebih suka menghabiskan waktu di Tiktok daripada menyelesaikan tugas penting. Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk bijak dalam menggunakan platform ini, dengan membatasi waktu penggunaan dan meningkatkan kesadaran tentang dampak negatifnya. Dukungan dari orangtua, pendidik, dan masyarakat juga sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat dan mendukung perkembangan mental yang positif bagi generasi muda.
Agung Nugroho pemerhati media digital