Reorientasi Swasembada Pangan Pemerintahan Prabowo

Reorientasi Swasembada Pangan Pemerintahan Prabowo

Peringatan Hari Pangan Sedunia (16 Oktober) tahun ini kembali dibayang-bayangi oleh ancaman krisis pangan. Laporan The State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI) 2024 mencatat angka kelaparan penduduk dunia pada 2023 diperkirakan sebesar 733 juta jiwa. Hal ini berarti 1 dari 11 orang di dunia berada dalam keadaan lapar, atau dengan persentase mencapai 9 persen. Angka ini meningkat dibandingkan 2019 yang sebesar 7,9 persen.

Jika tren saat ini terus berlanjut, sekitar 582 juta orang akan mengalami kekurangan gizi kronis pada 2030, (dengan) separuh di antaranya berada di Afrika. Kondisi demikian membuat pesimis target program zero hunger pada 2030 mendatang. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan dunia mengalami kemunduran hingga 15 tahun, dengan tingkat kekurangan gizi yang sebanding dengan angka yang tercatat pada 2008-2009.

Penyebab utama krisis pangan masih menghantui berkaitan erat dengan orientasi tata kelola pangan yang masih mengacu kepada hanya sekadar ketahanan pangan, bukan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan dalam UU 18/2012 tentang Pangan didefinisikan sebagai hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional. Dalam tataran implementasi, konsep kedaulatan tersebut meliputi segala aspek di dalam sistem pangan, mulai dari aspek atau subsistem penguasaan tanah (reforma agraria), model produksi (agroekologi), pengolahan dan penyimpanan (cadangan pangan), distribusi (tata niaga), konsumsi hingga kelembagaannya.

Kedaruratan Pangan

Hari Pangan menjadi pengingat agar selalu tersedia cukup pangan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman, dengan harga terjangkau untuk semua orang, dan tidak ada yang kelaparan atau menderita kekurangan gizi dalam bentuk apa pun. Dalam hal ini negara berkewajiban untuk memenuhinya. Pemenuhan kewajiban ini sering menjadi janji pemerintah, bahkan selalu menjadi tema perdebatan di setiap kontestasi pemilu. Salah satu janji yg paling sering diucapkan adalah swasembada pangan. Pemerintah Orde Baru pernah mengklaim telah berhasil mencapai swasembada beras, yang berlangsung beberapa tahun. Pemerintahan SBY dan Jokowi juga mengklaim pernah mencapai swasembada pangan. Meskipun dalam dua puluh tahun terakhir, pada masa pemerintahan keduanya, impor pangan terus berfluktuasi dan cenderung meningkat. Terutama beras, kedelai, jagung, gula, garam, bawang putih, daging sapi, hingga gandum. Berdasarkan ketetapan FAO pada 1999, suatu negara bisa dikatakan swasembada jika produksi dalam negeri mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional. Sehingga gelar swasembada tidak serta merta menjadikan Indonesia terbebas dari impor pangan.

Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029, Prabowo-Gibran, menempatkan swasembada pangan sebagai program prioritas dalam visi Asta Cita. Pemerintah yang baru ini akan mengandalkan program prioritas lumbung pangan atau Food Estate dengan mencetak sawah seluas 250 ribu hektar dan mengembangkan kawasan padi seluas 485 ribu hektar. Dalam RAPBN 2025 disebutkan anggaran ketahanan pangan mencapai Rp 124 triliun. Berdasarkan itu, konsep ketahanan pangan sesungguhnya masih diadopsi oleh Prabowo-Gibran. Suatu konsep yang ambigu dan tidak berdasar karena tidak menjawab pertanyaan esensial seperti siapa yang memproduksi pangan, bagaimana pangan diproduksi, dan untuk siapa pangan yang tersedia.

Dari waktu ke waktu resep penguasa untuk mengatasi masalah pangan ini selalu sama, yakni ekstensifikasi dan intensifikasi dengan pendekatan kapitalis neoliberal. Buka lahan pertanian baru secara masif dan serahkan mekanisme pada korporasi swasta dan pasar bebas. Sehingga sistem produksi pangan yang demikian menjadikan padat modal. Budi daya pertanian masih monokultur dan bersandar pada revolusi hijau yang dijalankan atas dasar efisiensi dan akumulasi kapital oleh pemodal di lingkaran kekuasaan. Prabowo-Gibran juga mempunyai program Makan Bergizi Gratis dengan anggaran mencapai Rp 71 triliun. Meskipun dapat menjawab kecukupan gizi dan mampu menggeliatkan ekonomi perdesaan, secara proses program ini diduga akan lebih banyak mengakomodasi keterlibatan korporasi.

Kembali ke Haluan

Orientasi kebijakan pemerintah yang selama ini keliru dengan ketahanan pangan dan swasembada pangan, menempatkan pelaku utama produsen pangan seperti petani, peladang, nelayan, masyarakat adat, dan produsen pangan skala kecil lainnya dalam posisi yang dilemahkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2021 menunjukkan, 51% rumah tangga miskin memiliki sumber penghasilan utama di sektor pertanian.

Sementara di satu sisi pemerintah terus membuka lahan pertanian baru, dan di sisi lain lahan pertanian yang ada dikonversi menjadi non pertanian seperti untuk proyek strategis nasional, infrastruktur, pertambangan, pariwisata, dan perkebunan. Setiap tahun bahkan tercatat lebih dari 100 ribu hektar tanah pertanian dialihfungsikan. Sehingga tidak mengherankan apabila petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar mengalami lonjakan dalam satu dekade terakhir, dari 14,24 juta pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023 (Sensus Tani BPS 2023). Hal tersebut kemudian menyebabkan krisis regenerasi petani yang terus menjangkiti Indonesia. Menurut data BPS, selama satu dekade ini, petani yang berusia 45 tahun ke atas mendominasi dengan persentase 67,86 persen. Sementara petani di bawah 45 tahun hanya 32,14 persen. Minat untuk bertani rendah karena pemerintah belum menjalankan mandat FAO untuk menjalankan Dekade Pertanian Keluarga 2019-2028.

Per Maret 2024, jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 25,22 juta orang atau sekitar 9,03 persen persen dari total penduduk. Dari angka tersebut yang harus menjadi perhatian adalah besarnya jumlah penduduk miskin di perdesaan. BPS menyebut angka kemiskinan paling banyak tersebar di wilayah perdesaan sebanyak 13,58 juta orang, sementara di wilayah perkotaan berjumlah 11,64 juta orang. Salah satu faktor yang melatari hal itu karena masih terjadi ketimpangan penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan tanah yang dialami petani dan masyarakat di perdesaan. Demikian juga harga bahan pangan terkhusus beras yang menjadi penyumbang terbesar dari garis kemiskinan.

Hari Pangan Sedunia harus dijadikan momentum untuk mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan di Indonesia. Peringatan kali ini berdekatan dengan pelantikan Probowo-Gibran pada 20 Oktober. Sehingga catatan pangan menjadi tema yang krusial. Swasembada pangan mesti direfleksikan kembali dengan kedaulatan pangan. Sebab swasembada pangan sesungguhnya lebih dekat dengan ketahanan pangan yang telah terbukti berulang kali gagal. Syarat utama kedaulatan pangan yakni reforma agraria, tanah untuk petani, yang menempatkan keluarga petani sebagai produsen utama pangan. Kebijakan ini sebetulnya tertuang dalam Asta Cita. Kedaulatan pangan juga berarti merebut kembali sistem pangan yang selama ini dikuasai korporasi dan menjadikan pangan tidak sekadar sebagai komoditas yang diperdagangkan. Kedaulatan pangan diyakini sebagai jalan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Angga Hermanda Ketua Bidang Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan Exco Pusat Partai Buruh

Simak Video Prabowo Saya Bertekad untuk Swasembada Pangan

[Gambas Video 20detik]

Sumber