Revisi UU DKJ dan Mitos Reformasi Jakarta
Jakarta sedang berada di persimpangan jalan. Di tengah transisi pemindahan ibu kota yang belum pasti, revisi Undang-Undang (UU) Nomor. 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang baru saja ditandatangani Presiden Prabowo Subianto menambah ketegangan. Mengubah nomenklatur jabatan atau menyelesaikan masalah administrasi Jakarta? Apakah perubahan ini sekadar langkah kosmetik atau benar-benar menghadirkan solusi?
Perubahan Nama atau Solusi?Perubahan nomenklatur dalam UU DKJ, meskipun dianggap penting, sering hanyalah langkah simbolis. Tanpa disertai kebijakan substantif, mengubah nama jabatan hanya akan menjadi perubahan kosmetik. Ini terlihat jelas dalam kasus Washington, D.C. dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di Washington, D.C., upaya mengubah sebutan resmi menjadi "New Columbia" tidak mengarah pada perbaikan sistem birokrasi atau peningkatan pelayanan publik, meskipun ada dorongan besar untuk perubahan nama dan status. Masalah inti seperti kekurangan anggaran dan efisiensi pelayanan publik tetap tidak teratasi.
Hal serupa terjadi di DIY pada 2014, ketika perubahan nama Dinas Pekerjaan Umum menjadi Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tidak disertai dengan reformasi mendalam dalam sistem dan prosedur birokrasi. Meskipun ada perubahan nama, masalah tumpang tindih birokrasi dan lambatnya respon terhadap kebutuhan infrastruktur tetap ada. Kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa perubahan nomenklatur tanpa reformasi mendalam hanya menghasilkan perubahan kosmetik, tanpa membawa dampak nyata dalam efisiensi dan efektivitas birokrasi. Reformasi yang lebih mendalam dan komprehensif sangat diperlukan untuk mengatasi masalah mendasar dalam sistem pemerintahan dan pelayanan publik.
Mengapa perubahan kosmetik sering gagal? Menurut teori perubahan organisasi, perubahan yang hanya menyentuh permukaan tanpa memperbaiki sistem dan prosedur yang ada tidak akan menghasilkan peningkatan efisiensi dan efektivitas. Reformasi birokrasi di Jepang pada era 1990-an menunjukkan bahwa tanpa perubahan mendalam dalam sistem pengelolaan dan budaya kerja, efisiensi birokrasi tidak meningkat signifikan. Selain itu, dampak perubahan nama semata dapat dilihat dari sudut pandang psikologis. Ketika perubahan yang diharapkan tidak terjadi, ketidakpuasan dan frustrasi di kalangan pegawai serta masyarakat meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh Melaku & Winkler, (2022) menemukan bahwa perubahan yang tidak substantif dapat menyebabkan demoralisasi, mengurangi produktivitas, dan kualitas pelayanan publik. Dari contoh-contoh di atas, jelas bahwa perubahan nomenklatur memerlukan kebijakan substantif dan reformasi mendalam untuk menghasilkan dampak nyata..Pemindahan Ibu Kota yang TertundaSementara itu, meskipun Jakarta tidak lagi berstatus sebagai ibu kota negara, pemindahan resmi ibu kota ke Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur masih menunggu keputusan Presiden. Ketidakpastian ini menambah kebingungan di kalangan masyarakat dan investor yang menantikan kepastian untuk merencanakan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan. Sejarah memberikan pelajaran penting. Pemindahan ibu kota Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasília pada 1960, misalnya, berhasil karena didukung dengan perencanaan matang dan kebijakan yang jelas. Tanpa kepastian, pemindahan ibu kota hanya akan menjadi simbol tanpa dampak nyata terhadap pemerataan pembangunan dan pengurangan beban Jakarta.
Brasil merencanakan pemindahan ibu kota selama lebih dari satu dekade, memastikan bahwa infrastruktur dan fasilitas pendukung siap sebelum melakukan transisi. Sebaliknya, ketidakpastian mengenai pemindahan ibu kota di Indonesia menimbulkan keraguan di kalangan investor. Menurut laporan Bank Indonesia (BI) mencatat aliran modal asing sebesar Rp 5,13 triliun keluar (capital outflow) dari pasar keuangan dalam negeri sepanjang pekan pertama Desember 2024. Hal ini dapat disebabkan oleh ketidakpastian terkait pemindahan ibu kota.
Mengatasi ketidakpastian ini memerlukan komitmen kuat dari pemerintah. Pemerintah perlu memberikan kejelasan dan kepastian mengenai rencana pemindahan ibu kota agar tidak menimbulkan ketidakpastian berkepanjangan yang pada akhirnya bisa merugikan pembangunan dan kepercayaan publik. Dalam konteks ini, pemerintah Brasil menyediakan contoh bagaimana perencanaan yang baik dan komunikasi yang jelas dapat membuat proses pemindahan ibu kota berjalan lancar dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Pentingnya Partisipasi PublikTidak kalah penting, revisi UU DKJ ini menyentuh isu partisipasi publik dalam proses legislasi. Keputusan yang diambil tanpa konsultasi publik yang memadai berisiko menghadirkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Sebagai contoh, meskipun Undang-Undang Cipta Kerja menuai banyak kontroversi, masyarakat yang terlibat dalam diskusi dan evaluasi cenderung lebih menerima kebijakan tersebut karena merasa suaranya didengar.Partisipasi publik dalam proses legislasi sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Menurut teori partisipasi publik, kebijakan yang melibatkan partisipasi masyarakat cenderung lebih efektif dan mendapatkan dukungan yang lebih luas. Tanpa partisipasi publik yang memadai, kebijakan ini berisiko tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat dan hanya akan menambah ketidakpuasan.
Pengalaman dari negara lain menunjukkan pentingnya partisipasi publik dalam proses legislasi. Di Swedia, misalnya, proses legislasi selalu melibatkan partisipasi publik melalui konsultasi dan diskusi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Hasilnya, kebijakan yang dihasilkan lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan mendapatkan dukungan luas. Ini bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam proses revisi UU DKJ agar lebih melibatkan partisipasi publik secara aktif.
Menuju Solusi NyataSecara keseluruhan, meskipun revisi UU DKJ ini membawa perubahan dalam nomenklatur jabatan, penting untuk memastikan bahwa perubahan ini disertai dengan langkah-langkah konkret yang dapat meningkatkan tata kelola dan kualitas hidup masyarakat Jakarta. Pemerintah harus menghindari membuat perubahan yang hanya mengubah nama tanpa menyentuh substansi kebijakan yang lebih mendalam. Perubahan yang terkesan hanya simbolis tanpa diimbangi dengan kebijakan yang jelas berisiko menghambat kemajuan.
Pemerintah harus fokus pada solusi nyata yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat Jakarta dan memastikan bahwa perubahan nomenklatur ini tidak hanya sekadar kosmetik tetapi membawa perubahan substansial.Perubahan yang substansial harus mencakup reformasi dalam berbagai aspek, termasuk sistem birokrasi, tata kelola pemerintahan, dan pelayanan publik. Reformasi ini harus dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, akademisi, dan sektor swasta. Hanya dengan cara ini, perubahan yang diharapkan dapat terwujud dan memberikan dampak positif bagi masyarakat Jakarta.
Langkah Maju untuk JakartaRevisi UU DKJ ini membuka ruang untuk diskusi tentang bagaimana seharusnya tata kelola pemerintahan di Jakarta dilakukan, terutama dengan mempertimbangkan pemindahan ibu kota dan kebutuhan untuk memperbaiki sistem administrasi. Jika perubahan ini hanya sebatas kosmetik tanpa mengatasi akar masalah, maka langkah ini hanya akan menambah kebingungan di kalangan publik dan tidak membawa perubahan berarti. Oleh karena itu, partisipasi publik dalam setiap kebijakan dan transparansi dalam proses legislasi sangat diperlukan untuk memastikan kebijakan ini benar-benar bermanfaat bagi masyarakat Jakarta.
Pemerintah harus melakukan lebih dari sekadar perubahan administratif. Reformasi mendalam yang melibatkan masyarakat secara langsung adalah kunci untuk menciptakan perubahan yang nyata. Jakarta, dan Indonesia secara keseluruhan, membutuhkan kebijakan yang tidak hanya terdengar bagus di atas kertas, tetapi yang benar-benar mampu membawa perubahan nyata bagi masyarakat. Reformasi yang substansial dan partisipasi publik yang aktif adalah kunci untuk mewujudkan visi Jakarta yang lebih baik dan lebih efisien.Junet Hariyo Setiawan aktivis literasi hukum