Revolusi Sunyi Kotak Kosong

Revolusi Sunyi Kotak Kosong

Pemilihan kepala daerah (pilkada) sejatinya merupakan arena kontestasi gagasan dan visi-misi untuk memajukan daerah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kita kerap menyaksikan fenomena unik, bahkan paradoksal kemenangan kotak kosong. Fenomena ini tidak hanya sekadar ironi demokrasi, tetapi juga sebuah pesan sunyi namun tegas dari masyarakat kepada elite politik. Kotak kosong muncul ketika hanya ada satu pasangan calon (calon tunggal) yang bertarung dalam pilkada. Dalam situasi ini, pemilih dihadapkan pada dua pilihan menerima calon tunggal tersebut atau memilih kotak kosong. Ketika kotak kosong menang, suara sunyi masyarakat yang selama ini terpinggirkan justru mendapatkan panggungnya. Fenomena ini mencerminkan perubahan mendasar dalam dinamika politik Indonesia yang patut menjadi perhatian.

Bukan Hal BaruFenomena kemenangan kotak kosong bukanlah hal baru dalam demokrasi Indonesia. Pada Pilkada 2018, fenomena ini mencuri perhatian ketika kotak kosong mengalahkan pasangan calon tunggal di Makassar. Pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi kalah dari kotak kosong yang meraih 53,23% suara. Ini menjadi peristiwa bersejarah yang menegaskan ketidakpuasan masyarakat terhadap dominasi calon tunggal. Fenomena ini menjadi simbol protes masyarakat terhadap sistem politik yang dinilai tidak memberikan alternatif. Fenomena serupa juga terjadi dalam Pilkada 2020. Di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, kotak kosong unggul dengan 52,6% suara, mengalahkan pasangan calon tunggal Dosmar Banjarnahor-Oloan Paniaran Nababan. Begitu pula di Kabupaten Supiori, Papua, kotak kosong meraih 59,1% suara, menjadi pemenang melawan pasangan calon tunggal. Pada Pilkada Serentak 2024, fenomena ini kembali terulang. Di Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, kotak kosong unggul dengan 57% suara, mengalahkan pasangan calon tunggal petahana Maulan Aklil-Masagus M. Hakim. Kemenangan ini disambut haru oleh para relawan kotak kosong yang menggelar sujud syukur sebagai ungkapan rasa kelegaan atas hasil tersebut. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon pada Pilkada 2024, terdiri dari satu provinsi, 35 kabupaten, dan lima kota (detikcom, 5/9). Situasi ini menunjukkan bahwa kemenangan kotak kosong tidak lagi menjadi anomali, tetapi mulai menjadi pola yang menguat dalam politik lokal Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya masalah struktural dalam sistem politik kita yang harus segera dibenahi.

Demokrasi yang TergerusKemenangan kotak kosong mencerminkan kegagalan demokrasi elektoral dalam memenuhi salah satu prinsip fundamentalnya representasi politik. Demokrasi idealnya menyediakan ruang bagi munculnya alternatif—kompetisi yang sehat antar-ide, visi, dan program. Ketika hanya ada satu calon, proses ini tidak terjadi. Alih-alih menjadi pesta demokrasi, pilkada berubah menjadi ritual administratif semata. Ketiadaan lawan dalam pilkada menunjukkan dua hal. Pertama, lemahnya sistem kaderisasi di partai politik. Kedua, menguatnya oligarki politik. Partai lebih sering memilih berkoalisi untuk mengamankan kepentingan jangka pendek daripada mendorong kader-kader terbaiknya bertarung. Hasilnya, masyarakat dipaksa menerima pilihan yang sempit. Namun, kemenangan kotak kosong menjadi simbol perlawanan sunyi terhadap keadaan tersebut. Ia adalah protes terhadap monopoli kekuasaan dan tanda ketidakpuasan masyarakat terhadap calon tunggal yang ditawarkan. Dalam sunyinya pilihan, rakyat justru berbicara lantang melalui kotak kosong. Ketidakpuasan terhadap calon tunggal juga sering mencerminkan rasa frustrasi masyarakat terhadap praktik politik transaksional yang terus berlangsung. Calon tunggal kerap diasosiasikan dengan kekuatan politik dominan yang memanfaatkan jejaring kekuasaan untuk mengunci persaingan. Dalam konteks ini, kotak kosong menjadi alternatif simbolik bagi mereka yang menginginkan perubahan tetapi tidak memiliki opsi nyata dalam pemilu.

Revolusi Sunyi Fenomena kotak kosong tak lepas dari konteks revolusi sunyi yang sedang berlangsung di masyarakat. Revolusi ini tidak ditandai oleh massa yang turun ke jalan atau perubahan struktural yang eksplosif. Sebaliknya, ia bergerak diam-diam melalui kesadaran kolektif yang menolak ketidakadilan dan ketimpangan sistem politik. Revolusi sunyi adalah bentuk emansipasi politik masyarakat yang menyadari bahwa kekuasaan tidak sepenuhnya ada di tangan elite. Melalui mekanisme demokrasi elektoral, masyarakat menemukan ruang untuk mengekspresikan ketidaksetujuan tanpa perlu menghadirkan kekerasan atau konflik terbuka. Dalam hal ini, kotak kosong menjadi medium perjuangan politik yang damai namun penuh makna. Namun, revolusi ini harus diikuti oleh perubahan yang lebih mendalam. Kemenangan kotak kosong tidak boleh hanya berhenti sebagai simbol. Ia harus diartikan sebagai panggilan untuk mereformasi sistem politik kita. Partai politik harus kembali ke khitahnya sebagai instrumen demokrasi yang mengedepankan ideologi, kompetensi, dan integritas. Revolusi sunyi yang diwujudkan melalui kotak kosong juga mencerminkan dinamika baru dalam pola pikir masyarakat. Masyarakat yang sebelumnya dianggap pasif kini mulai memahami bahwa mereka dapat menggunakan suara mereka untuk menyampaikan pesan kepada elite politik. Pesan ini jelas politik yang eksklusif, oligarkis, dan minim representasi harus segera diakhiri.

Reformasi Sistem PolitikMeskipun kotak kosong menjadi simbol perlawanan, tantangan ke depan tidaklah kecil. Sistem politik Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh oligarki dan pragmatisme jangka pendek. Partai politik cenderung mengabaikan proses kaderisasi dan lebih memilih mengusung kandidat populer atau petahana yang memiliki jejaring finansial kuat. Untuk memastikan bahwa demokrasi tidak lagi berakhir dengan kemenangan simbolik seperti kotak kosong, ada beberapa langkah reformasi yang mendesak.Pertama, Peningkatan Sistem Kaderisasi. Partai politik harus berkomitmen untuk memperbaiki sistem kaderisasi sehingga muncul kader-kader berkualitas yang siap bersaing dalam pilkada. Proses ini harus berbasis meritokrasi, bukan sekadar loyalitas atau kemampuan finansial calon. Kedua, Reformasi Dana Kampanye. Tingginya biaya politik sering menjadi alasan partai memilih calon tunggal. Dengan mereformasi aturan pendanaan kampanye, peluang bagi calon independen atau calon dari partai kecil untuk bersaing akan semakin terbuka. Ketiga, Penguatan Peran Masyarakat Sipil. Kemenangan kotak kosong adalah bukti bahwa masyarakat memiliki kesadaran politik yang tinggi. Peran masyarakat sipil sebagai pengawas demokrasi harus terus diperkuat untuk memastikan bahwa suara rakyat tidak hanya didengar tetapi juga diimplementasikan. Keempat, Regulasi untuk Mencegah Dominasi Calon Tunggal. Pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan regulasi baru yang mendorong kompetisi lebih sehat dalam pilkada, termasuk pembatasan jumlah koalisi partai untuk satu pasangan calon.

Menatap Masa Depan DemokrasiKemenangan kotak kosong bukanlah akhir dari perjalanan demokrasi, melainkan awal dari refleksi mendalam. Demokrasi tidak boleh berhenti pada prosedur elektoral semata, tetapi harus tumbuh menjadi sistem yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat. Dengan kemenangan kotak kosong, masyarakat telah menunjukkan bahwa mereka tidak akan diam ketika hak politik mereka diabaikan. Kotak kosong adalah wajah protes yang tenang, tetapi jangan salah, ia menyimpan gelombang yang bisa mengguncang fondasi oligarki. Revolusi sunyi ini harus menjadi cambuk untuk membangun kembali demokrasi yang sehat, kompetitif, dan berpihak pada rakyat. Karena pada akhirnya, suara rakyat, betapapun sunyinya, akan selalu menjadi penentu sejarah.Firdaus Arifin dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan

Sumber