RI Jadi Penerbit Sukuk Terbesar di Dunia, Kalahkan IsDB
Bisnis.com, JAKARTA — Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan Indonesia menjadi penerbit sukuk terbesar di dunia, bahkan mengalahkan Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IsDB).
Perry menuturkan dalam forum yang digelar pada Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2024, bahwa Indonesia telah menerbitkan sukuk sekitar US$5 miliar atau sekitar Rp78,5 triliun (asumsi kurs Rp15.700 per dolar AS).
"Indonesia adalah penerbit sukuk tertinggi, kita mungkin sekitar US$5 miliar. Kedua adalah IsDB," ujarnya dalam BI, IILM, IFSB Joint High Level Seminar and Investor Forum di JCC, Kamis (31/10/2024).
IsDB atau Bank Pembangunan Islam adalah lembaga keuangan pembangunan multilateral yang menyediakan pembiayaan syariah untuk pembangunan infrastruktur. IsDB juga mendukung negara-negara anggotanya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Suistainable Development Goals (SDGs).
Meskipun telah menjadi yang terbesar, Perry menilai Indonesia masih membutuhkan sukuk lebih banyak lagi.
Perry berpandangan sukuk menjadi salah satu cara yang dapat memajukan sektor keuangan syariah. Untuk itu, Indonesia perlu lebih banyak sukuk untuk memenuhi permintaan di Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut, Perry mendorong kemajuan dalam menciptakan nilai-nilai islam, khususnya untuk layanan keuangan islam melalui inovasi produk.
"Inovasi produk, saya hanya ingin fokus tiga produk jasa keuangan islam, yakni sukuk, takaful, dan wakaf. Bahkan Khalifah Umar [Umar bin Khattab] telah menjadi pemimpin kita dalam memajukan tiga aspek ini," ungkap Perry.
Sukuk, takaful, dan terutama wakaf menjadi instrumen keuangan terbaik untuk menciptakan nilai-nilai kemajuan berdasarkan nilai-nilai Islam.
Untuk diketahui, sukuk atau biasa disebut juga obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah. Sementara Takaful merupakan asuransi syariah.
BI hingga 14 Oktober 2024 tercatat telah menerbitkan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) sebagai instrument yang pro-market senilai US$424 juta.
Instrumen tersebut menjadi salah satu untuk mendukung penguatan stabilitas nilai tukar rupiah dan pencapaian sasaran inflasi di angka 1,5% hingga 3,5%.