RI Minat Gabung ke BRICS dan OECD, Lebih Untung Mana?
Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia disarankan untuk masuk ke dua organisasi, yakni BRICS dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) seiring dengan potensi positif yang akan didapat dari kerja sama dengan kedua kelompok tersebut.
Sebagai informasi, Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan minatnya masuk kelompok Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan atau BRICS. Adapun, Indonesia juga sedang mengurus aksesi untuk masuk ke OECD, proses yang telah dimulai sejak masa pemerintahan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi).
Ekonom Senior Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, opsi terbaik untuk Indonesia adalah untuk bergabung dengan kedua organisasi tersebut. Hal tersebut seiring dengan potensi manfaat yang akan didapatkan Indonesia dengan langkah tersebut.
Wijayanto juga mengatakan, tidak ada larangan formal yang mengatakan bahhwa sebuah negara tidak boleh bergabung dengan BRICS dan OECD. Menurutnya, praktik serupa juga telah dilakukan oleh negara-negara lain seperti Brasil, Thailand, dan lainnya.
"Ini (bergabung ke BRICS dan OECD) mungkin dilakukan, karena tidak ada larangan formal. Thailand approachnya begitu, Turki sudah menjadi anggota OECD tapi sedang apply (ke BRICS), Brasil sebagai pemrakarsa BRICS juga sedang apply ke OECD," jelas WIjayanto dalam diskusi daring ‘BRICS vs OECD Indonesia Pilih Mana?‘pada Rabu (30/10/2014).
Wijayanto memaparkan, salah satu keuntungan Indonesia bergabung dengan BRICS adalah meningkatkan kerja sama antara negara berkembang atau global south. Menurutnya, kerja sama global south belum secara maksimal dikembangkan oleh OECD. Padahal, Wijayanto mengatakan secara ekonomi potensi kerja sama ini sangat besar.
Selain itu, bergabungnya Indonesia ke BRICS bermanfaat untuk mempromosikan multilateralisme yang bersifat lebih egaliter. Hal tersebut berbeda dengan OECD yang beranggotakan 38 negara yang memiliki beberapa pihak lebih dominan, sehingga berpotensi meminimalkan peran Indonesia jika bergabung pada kelompok tersebut.
Selain itu, keuntungan Indonesia gabung BRICS dinilai akan mendorong pemanfaatan mata uang lokal dalam transaksi ekspor dan impor. BRICS juga memiliki porsi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan populasi yang besar terhadap global.
"Kemudian, proses untuk menjadi anggota BRICS relatif sederhana, tidak seperti OECD yang membutuhkan waktu bertahun-tahun," lanjutnya.
Sementara itu, salah satu keuntungan Indonesia bergabung OECD adalah adanya potensi transfer teknologi. Hal tersebut mengingat posisi OECD sebagai organisasi beranggotakan negara-negara maju. Transfer teknologi tersebut dapat dimanfaatkan Indonesia dalam upaya pengembangan dan pembangunan negara.
Wijayanto menambahkan, OECD juga memiliki keunggulan dari sisi jumlah anggota yang telah mencapai 38 negara. Melalui organisasi ini, Indonesia juga dapat mempromosikan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, serta good governance dengan lebih optimal.
Selain itu, Indonesia juga dapat mempercepat dan mempermudah proses penyelesaian perjanjian kerja sama dengan Uni Eropa atau Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Pasalnya, hingga saat ini, proses perundingan terkait kerja sama tersebut sudah berjalan selama 10 tahun.
Di sisi lain, Wijayanto juga menyebut baik BRICS maupun OECD sama-sama memiliki kekurangan pada beberapa aspek. Dia mengatakan, BRICS belum memiliki tujuan akhir yang jelas sebagai sebuah organisasi baru.
Hal tersebut juga mengingat BRICS merupakan organisasi yang relatif baru dibandingkan dengan OECD.
"Bahkan juga ada anggapan bahhwa mereka bersatu karena punya problem yang sama, tetapi belum ada goal (tujuan) yang sama," jelas WIjayanto.
Bergabungnya Indonesia ke BRICS juga berpotensi menimbulkan masalah dengan AS mengingat hubungan Negeri Paman Sam dengan negara anggota BRICS seperti Rusia dan China yang cenderung memanas selama beberapa waktu belakangan.
Di sisi lain, Wijayanto mengatakan OECD juga terbagi atas kelompok-kelompok lain di dalam organisasinya. Menurutnya, ada kelompok negara yang cenderung lebih dominan dibandingkan anggota lain, sehingga peran Indonesia dinilai akan minimal jika nantinya resmi bergabung dengan OECD.
Selain itu, proses menjadi anggota OECD terbilang lebih lama, yakni sekitar 3 hingga 4 tahun. Hal tersebut juga ditambah dengan persyaratan masuk yang lebih rumit.
"Selain itu, negara-negara utama anggota OECD saat ini juga cenderung sedang bermasalah," tambahnya.