Ritual Dolop Suku Dayak, Ketika Roh Leluhur Menentukan Siapa Benar dan Salah
NUNUKAN, KOMPAS.com - Ritual "Dolop" merupakan tradisi adat yang masih lestari hingga saat ini, khususnya di Suku Dayak Agabag, yang tinggal di Nunukan, Kalimantan Utara.
Dalam konteks ini, Dolop dianggap sebagai sistem peradilan adat yang diyakini sebagai peradilan Tuhan.
“Sejak dahulu sampai hari ini, peradilan Dolop menjadi solusi ketika ada kasus tidak terpecahkan di masyarakat adat Agabag. Kami yakin Tuhan dan roh nenek moyang hadir dalam setiap Dolop yang kami lakukan,” ujar salah satu tokoh Dayak Agabag, Bajib Misak, saat dihubungi, Sabtu (18/1/2025).
Sistem peradilan adat Dolop mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai hukum Adat Dolop yang paling banyak digelar dalam waktu 50 tahun pada tahun 2022.
Menurut Bajib, Dolop adalah kebijakan adat yang diturunkan secara turun-temurun dan dijaga secara utuh.
Mantra Dolop terus diajarkan kepada generasi Agabag agar tidak tergerus oleh zaman.
“Tidak ada satupun ritual yang berubah sejak nenek moyang kita dulu. Yang berubah hanya Ambasa, istilah untuk nyawa yang ditukar nyawa. Tetua adat mengubah Ambasa dengan denda adat, mengikuti peradaban yang berubah dan mempertimbangkan undang-undang negara,” jelas Bajib.
Dalam melaksanakan ritual Dolop, tetua adat akan mengadakan musyawarah adat yang melibatkan para tokoh adat, pihak berperkara, kepala desa, hingga polisi.
Lokasi pelaksanaan Dolop akan ditentukan dengan mencari sungai yang dirasa memenuhi syarat.
Pada tahap ini, tetua adat melakukan upacara untuk memanggil roh leluhur dengan menggunakan peralatan seperti beras kuning, batang pisang, kain kuning, kain merah, dan pohon kalambuku yang akan ditancapkan di sungai sebagai penanda pelaku Dolop atau Bedolop.
“Dalam upacara pemanggilan roh, semua roh nenek moyang dipanggil. Roh dari laut dipanggil untuk membantu menunjukkan siapa yang bersalah, dan roh dari darat dipanggil untuk memastikan upacara Dolop berjalan semestinya,” tutur Bajib.
Proses pemanggilan roh dilakukan dengan cara memukul batang pisang ke tanah selama sekitar 5 menit.
Setelah diyakini leluhur hadir, ritual Dolop dapat segera dimulai.
Kedua pihak berperkara akan dimantrai sebelum menyelam sambil memegang batang pohon Kalambuku.
Hasil dari ritual ini menunjukkan pihak yang bersalah, yang akan muncul lebih cepat ke permukaan sungai.
Pihak yang kalah dalam ritual Dolop diharuskan membayar denda adat.
Denda ini bisa berupa tempayan atau guci yang merupakan harta adat, serta sapi dewasa dan uang tunai yang jumlahnya bervariasi tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.
“Sampai hari ini, tidak pernah ada warga Agabag yang melanggar ketentuan adat, termasuk tidak puas dengan hasil Dolop,” tegas Bajib.
Setelah ritual Dolop, ada juga upacara lanjutan yang disebut Dawak.
Dawak berfungsi sebagai prosesi pembersihan jiwa, untuk menghilangkan nafsu angkara, dendam, dan aura jahat.
Pihak yang berperkara akan menyiapkan seekor babi untuk kurban sebagai lambang pengusiran roh jahat, diikuti dengan menyembelih ayam putih yang melambangkan kesucian hati.
“Setelah itu, tidak ada lagi dendam dan rasa tidak puas. Tradisi kami selalu mengutamakan persatuan dan kerukunan Suku Agabag,” pungkas Bajib.
Ritual Dolop bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga merupakan sebuah bentuk sistem peradilan yang berakar pada keyakinan dan kearifan lokal Suku Dayak Agabag.
Dengan melestarikan ritual ini, mereka terus menjaga identitas dan nilai-nilai budaya yang telah ada sejak nenek moyang.