Rugikan Negara Rp 300 Triliun, Kenapa Harvey Moeis Divonis Ringan?

Rugikan Negara Rp 300 Triliun, Kenapa Harvey Moeis Divonis Ringan?

JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta telah menyatakan Harvey Moeis bersalah dalam perkara korupsi timah. Atas perbuatannya, Harvey dihukum 6 tahun dan 6 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan.

Putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto ini jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung.

Jaksa penuntut umum sebelumnya meminta suami aktris Sandra Dewi itu dikurung 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan.

Apa saja yang menjadi dasar pertimbangan hakim sehingga menjatuhkan vonis ringan kepada Harvey Moeis?

Hakim menilai bahwa Harvey terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara sebagaimana dakwaan kesatu primair terkait Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

Hakim Eko juga juga menyebut, Harvey terbukti melakukan tindak pidana pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang NOmor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Hakim kemudian menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 210 miliar yang harus dilunasi dalam waktu 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Jika tidak dibayar, harta bendanya akan disita dan dirampas untuk negara guna menutupi uang pengganti itu.

Namun, jika harta bendanya tidak mencukupi maka pidana tambahan itu akan diganti menjadi tambahan pidana penjara selama dua tahun.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebut perbuatan Harvey telah memenuhi unsur Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Di antara unsur itu adalah perbuatan melawan hukum dan unsur merugikan keuangan negara.

Hakim anggota, Suparman Nyompa menyebut, tindakan Harvey menginisiasi kerjasama sewa smelter dengan PT Timah Tbk tidak sesuai dengan ketentuan.

Harvey, atas sepengetahuan Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) Suparta dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT Reza Andriansyah, perusahaan yang ia wakili, melakukan negosiasi dengan PT Timah.

Bersama Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Keuangan PT Timah Tbk Emil Ermindra, dan Direktur Operasi Produksi PT Timah Alwin Albar, Harvey menentukan besaran biaya sewa smelter yang terlalu mahal.

“Terdakwa Harvey Moeis bersama Mochtar Riza Pahlevi, Emil Ermindra, dan Alwin Albar menyepakati harga sewa pengolahan timah sebesar 4.000 dollar AS per ton untuk PT RBT dan 3.700 dollar per ton untuk empat smelter swasta tanpa kajian feasibility study dan kajian dibuat tanggal mundur,” kata Hakim Suparman.

Kerjasama sewa pengleburan itu membuat negara mengalami kerugian hingga Rp 2.284.950.217.912,14 (Rp 2,2 triliun).

Selain itu, Harvey juga ikut membahas permintaan Mochtar agar para pengusaha smelter swasta menyerahkan kuota ekspor mereka sebesar 5 persen karena logam timah yang diolah berasal dari bijih penambang ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah.

“Menimbang bahwa dengan demikian, berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka unsur melawan hukum dalam pasal ini telah terpenuhi pada perbuatan terdakwa,” ujar Hakim Suparman.

Hakim Suparman lantas menyebut, perbuatan Harvey dan para terdakwa lain menimbulkan kerugian negara Rp 300.003.263.938.131,14 (Rp 300 triliun).

Kerugian itu terdiri dari kemahalan sewa alat penglogaman Rp 2,2 triliun; pembayaran bijih timah dari IUP sendiri Rp 26.648.625.701.519,00 (Rp 26,6 triliun) dan kerusakan lingkungan sebesar Rp 271.069.688.018.700,00 (Rp 271 triliun).

“Menimbang bahwa dengan demikian unsur yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara telah terpenuhi pada perbuatan terdakwa tersebut,” ujar Hakim Suparman.

Selain menjatuhkan pidana badan hingga uang pengganti, dalam putusannya majelis hakim juga memerintahkan jaksa untuk merampas aset-aset atau barang bukti untuk dilelang dan diserahkan kepada negara.

Hakim anggota Jaini Basir mengatakan, pihaknya bersepakat dengan jaksa penuntut umum terkait barang bukti yang disita dari Harvey Moeis dan kawan-kawan.

Termasuk dalam hal ini adalah sejumlah mobil mewah dari Harvey untuk sandra Dewi, rumah yang dibeli bersama, deposit atas nama Sandra Dewi berisi Rp 33 miliar, 88 tas mewah Sandra Dewi, dan lainnya.

"Majelis hakim berpendapat bahwa barang bukti aset milik terdakwa tersebut dirampas untuk negara dan diperhitungkan sebagai pengganti kerugian keuangan negara yang akan dibebankan kepada terdakwa," kata Hakim Jaini.

Menurut Hakim Jaini, Harvey Moeis dibebankan membayar uang pengganti Rp 210 miliar karena jumlah uang korupsi yang diduga dinikmati bersama pemilik money changer PT Quantum Skyline Exchange, Helena Lim Rp 420 miliar.

Karena tidak jelas berapa pembagian uang hasil korupsi itu dan tidak dicatat Helena, maka nilainya dibagi dua.

"Selanjutnya, aset milik terdakwa dirampas untuk diperhitungkan sebagai uang pengganti kerugian keuangan negara, dengan ketentuan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, aset terpidana sebagaimana dalam tuntutan penuntut umum dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut," tambah Hakim Jaini.

Sebelum membacakan putusan, Hakim Ketua Eko Aryanto menyebut tuntutan jaksa yang meminta Harvey dihukum 12 tahun penjara terlalu berat sehingga harus dikurangi.

Majelis hakim mengukur besarnya tuntutan itu dengan mempertimbangkan peran serta kedudukan Harvey Moeis dalam perkara dugaan korupsi tata niaga tmah.

“Menimbang bahwa tuntutan pidana penjara selama 12 tahun penjara terhadap diri terdakwa Harvey Moeis, majelis hakim mempertimbangkan tuntutan pidana penjara tersebut terlalu berat jika dibandingkan dengan kesalahan terdakwa sebagaimana kronologis perkara,” kata Hakim Eko.

Hakim Eko mengatakan, kasus korupsi ini terjadi ketika pihak PT Timah Tbk tengah berupaya meningkatkan jumlah produksi dan ekspor. Namun, mereka sulit memperoleh bijih timah karena maraknya penambangan ilegal.

Sementara itu, Harvey Moeis hanya diminta Direktur Utama PT RBT, Suparta untuk membantu karena memiliki pengalaman bisnis batubara.

Harvey Moeis, kata Hakim Eko, bukan bagian jajaran direksi, komisaris, maupun pemegang saham PT RBT. Ia tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan kerjasama.

Selain itu, PT RBT juga bukan perusahaan yang melakukan penambangan ilegal. Mereka memiliki IUP dan izin usaha jasa penambangan (IUJP).

“Menimbang bahwa berdasarkan fakta tersebut majelis hakim berpendapat tuntutan pidana penjara yang diajukan penuntut umum terhadap diri terdakwa Harvey Moeis, kemudian terdakwa Suparta dan terdakwa Reza Andriansyah terlalu tinggi dan harus dikurangi,” tutur Hakim Eko.

Usai menjatuhkan hukuman 6 tahun dan 6 bulan penjara, Hakim Eko meminta tanggapan dari jaksa dan pihak Harvey Moeis.

Kedua pihak bisa bersikap menerima, menolak dengan menyatakan banding, atau memikirkan terlebih dahulu selama 7 hari.

Setelah masing-masing pihak berunding, mereka menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut.

“Setelah kami pertimbangkan majelis hakim, baik terdakwa maupun kami tim penasihat hukum menyatakan pikir-pikir dulu,” kata pengacara.

Hakim Eko lantas mengingatkan bahwa 7 hari dimaksud merupakan 7 hari kerja. Sementara, saat ini sedang memasuki libur akhir tahun.

“Coba diingat karena ini akhir tahun ya, ada liburan. Sedangkan penghitungannya bukan hari kerja, hari kalender seperti itu. Beda dengan perkara perdata,” tutur Hakim Eko.

Ditemui usai persidangan, pengacara Harvey Moeis, Andi Ahmad menyatakan keberatan dengan putusan hakim yang merampas aset harvey Moeis dan Sandra Dewi.

Padahal, kata Andi, Harvey dan Sandra Dewi telah meneken perjanjian pisah harta. Namun, hakim tetap memerintahkan jaksa menyita aset Sandra Dewi.

"Kalau semua harta ini disita, termasuk yang atas nama Sandra Dewi, padahal mereka sudah pisah harta, ini tentu perlu kami kaji lebih dalam," kata Andi.

Perintah penyitaan ini membuat tim pengacara mempertanyakan pertimbangan majelis hakim.

Sebab, perjanjian pisah harta menurut hukum membuat kepemilikan aset suami istri terpisah.

Ketika sang suami terjerat hukum, maka aset istrinya tidak bisa dianggap milik suami dan dirampas untuk negara.

Namun demikian, tim kuasa hukum belum menerima salinan putusan sehingga belum bisa menyatakan sikap.

“Tapi yang jelas, kami akan mempertimbangkan langkah hukum lebih lanjut dalam waktu tujuh hari kedepan," ujar Andi.

Sumber