Rumah Arwah: Warisan Leluhur Tionghoa yang Tetap Hidup di Semarang
SEMARANG, KOMPAS.com - Di tengah kesibukan menyambut tahun baru Imlek, Kota Semarang menyimpan tradisi unik yang terus hidup di antara masyarakat Tionghoa tradisi ‘Rumah Arwah’.
Tradisi ini tak hanya mencerminkan rasa hormat terhadap leluhur, tetapi juga menggambarkan kerajinan tangan yang sarat makna budaya.
Di seberang Klenteng Hoo Hok Bio, tepatnya di Jalan Gang Cilik Kawasan Pecinan, seorang pria berusia lanjut sibuk dengan potongan bambu dan lembaran kertas.
Dialah Ong Bing Hok, generasi keempat pengrajin Rumah Arwah.
"Rumah arwah ini biasanya digunakan untuk upacara leluhur menjelang Imlek," kata Ong kepada Kompas.com, Selasa (14/1/2025).
"Sekarang sudah mulai ramai. Banyak orang memesan rumah, uang, dan pakaian untuk sembahyangan."
Sesuai namanya, Rumah Arwah digunakan untuk mengirim doa sekaligus menghormati para leluhur maupun orang-orang tersayang yang sudah meninggal.
Dengan mengirimkan Rumah Arwah, diharapkan bisa memberikan kenyamanan dan kebahagiaan bagi para mendiang.
Namun, kerajinan ini bukan sekadar estetika. Rumah Arwah memiliki filosofi yang mendalam.
Dibuat sepenuhnya dari bambu dan kertas, setiap bagian rumah dirancang dengan cermat. Ada bangunan utama, halaman, almari, bahkan gunung emas dan gunung perak yang melambangkan kemakmuran bagi para arwah.
"Model rumahnya beragam, ada yang seperti hotel, kafe, atau restoran. Tapi tidak boleh sama dengan rumah yang ditempati di dunia. Itu supaya arwah tidak merasa terikat dengan dunia fana," jelas Ong sambil tersenyum tipis.
KOMPAS.com/ Sabrina Mutiara Fitri Pemilik Rumah Kertas Hong generasi keempat, Ong Bing Hok berdiri di sebelah kerajinan Rumah Arwah hasil karyanya, Jumat (26/1/2024).
Tradisi ini bermula pada tahun 1800-an, ketika kakek buyut Ong, Hong Bei, membawa budaya ini dari suku Hokkian di Tiongkok.
Hingga kini, tradisi tersebut tetap bertahan, meski zaman terus berubah.
"Kalau di Semarang, tempat saya ini yang paling kuno," ucap Ong penuh kebanggaan.
"Budaya ini tidak bisa hilang, meskipun tantangannya adalah bagaimana kita bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman."
Rumah Arwah juga memiliki nilai ekonomis. Dengan harga mulai dari Rp 2 juta hingga puluhan juta, Ong menerima pesanan dari berbagai daerah di Indonesia.
Baru-baru ini, ia menyelesaikan pesanan dari Banjarmasin dan sedang bersiap mengirim ke Solo dan Pekalongan.
"Membuat satu Rumah Arwah butuh waktu satu hingga dua minggu, tergantung ukuran dan tingkat kesulitannya," ungkapnya.
Meski demikian, Ong mengakui bahwa melestarikan tradisi ini tidak mudah. Ia berharap generasi muda mau belajar dan meneruskan kerajinan ini.
"Kalau bisa dikenalkan lewat sekolah atau pelajaran agama, mungkin anak-anak sekarang akan lebih tertarik. Budaya ini punya nilai, bukan hanya untuk sembahyang, tetapi juga untuk melestarikan warisan leluhur," pungkasnya.
Di tengah derasnya arus modernisasi, Ong tetap setia pada bambu dan kertas, menjaga agar tradisi Rumah Arwah tetap hidup.
Bagi Ong dan banyak keluarga Tionghoa lainnya, tradisi ini bukan sekadar ritual, tetapi wujud kasih dan penghormatan yang tak lekang oleh waktu.